KOMPAS.com - Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, Nazaruddin Dek Gam, menegaskan bahwa pihaknya telah mengirimkan surat kepada Sekretariat Jenderal (Sekjen) DPR RI untuk menghentikan gaji, tunjangan, serta fasilitas lainnya bagi anggota dewan yang dinonaktifkan oleh partai politik masing-masing.
Langkah ini diambil setelah mencuat sorotan publik terhadap sikap dan pernyataan sejumlah anggota DPR yang dinilai tidak pantas.
Adapun anggota DPR RI yang dinonaktifkan adalah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi Partai NasDem, Eko Patrio dan Uya Kuya dari Fraksi PAN, serta Adies Kadir dari Fraksi Partai Golkar.
Baca juga: Mahasiswa Minta Pimpinan DPR Telepon Kapolri agar Bebaskan Pedemo yang Ditangkap
Mereka dinonaktifkan menyusul meningkatnya kritik publik terkait gaji, tunjangan, dan komentar kontroversial yang disampaikan kepada masyarakat.
Nazaruddin menjelaskan bahwa keputusan ini tidak hanya berlaku untuk lima anggota tersebut, tetapi juga bisa bertambah jika ada anggota lain yang dinonaktifkan oleh partainya.
“Kita enggak menyebutkan lima ya, bisa jadi bertambah nanti. Pokoknya bagi anggota yang sudah dinonaktifkan di partai, kita akan lakukan pendalaman lagi siapa lagi yang bakal kita panggil,” ujarnya.
Baca juga: Pastikan DPR RI Lebih Terbuka, Puan: Kami akan Evaluasi dan Berbenah Diri
Menurut Nazaruddin, langkah penghentian gaji ini merupakan bentuk tindak lanjut atas laporan partai kepada pimpinan DPR yang kemudian ditembuskan ke MKD.
Setelah menerima laporan, MKD menyurati Sekjen DPR agar segera menghentikan sementara gaji dan tunjangan para anggota yang dinonaktifkan.
“Hari ini MKD menyurati kesekjenan untuk menghentikan sementara gaji dan tunjangan lainnya bagi anggota yang sudah dinonaktifkan,” jelasnya.
Baca juga: Mahasiswa di Hadapan DPR: Tak Mungkin Kami Suarakan Aspirasi dengan Anarkis
Sebelumnya, gaji dan tunjangan DPR telah menjadi sorotan publik karena dianggap terlalu besar, termasuk tunjangan rumah sebesar Rp50 juta.
Klarifikasi dari sejumlah anggota DPR justru menimbulkan polemik baru. Misalnya, Nafa Urbach menyebut tunjangan rumah diperlukan agar anggota dewan bisa tinggal lebih dekat dengan Gedung DPR, sementara dirinya harus menempuh perjalanan panjang dari Bintaro.
Pernyataan itu memicu kritik, terutama dari masyarakat yang merasa kondisi mereka jauh lebih berat tanpa tunjangan serupa.
Baca juga: Apakah Presiden Bisa Membubarkan DPR? Ini Penjelasannya
Kritik publik semakin tajam setelah pernyataan pedas Ahmad Sahroni yang menyebut masyarakat pengkritik DPR sebagai “orang tolol se-dunia”.
Ucapan tersebut memicu gelombang kemarahan hingga muncul seruan “Bubarkan DPR” di media sosial.
Situasi semakin memanas setelah aksi unjuk rasa besar-besaran digelar di sejumlah daerah, termasuk di depan Gedung DPR RI pada akhir Agustus 2025.