KOMPAS.com - Nama Makassar sudah disebutkan dalam pupuh 14/3 Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada abad ke-14 sebagai daerah taklukkan Kerajaan Majapahit.
Konon, asal-usul nama Makassar bermula dari sebuah peristiwa yang dianggap sakral.
Suatu pagi pada 1605 di tepi Pantai Tallo, Raja Tallo ke-VI kedatangan seorang lelaki berjubah putih dan bersorban hijau. Dari wajah hingga sekujur tubuhnya memancarkan cahaya terang.
Lelaki itu muncul mengadang di depan gerbang istana dan menjabat tangan sang raja. Digenggamnya tangan sang raja dan ia menuliskan sebuah tulisan di telapak tangannya yang dipercaya berisi sebuah syahadat.
Kemudian, lelaki itu memerintahkan sang raja untuk menunjukkan tulisan di telapak tangannya kepada seorang pria yang akan datang ke pantai, yaitu Abdul Ma'mur Khatib Tunggal, yang dikenal sebagai Dato'ri Bandang dari Kota Tengah, Minangkabau, Sumatera Barat.
Baca juga: Pendiri Mayapada Group Dato’ Sri Tahir: Filantropi Bukan Sekadar soal Angka...
Setelah memberi perintah, si lelaki tiba-tiba menghilang. Lelaki ini dipercaya sebagai Nabi Muhammad SAW yang turun ke negeri sang raja.
Adapun isi tulisan yang ada di telapak tangan sang raja adalah kalimat yang berbunyi, "Akkasaraki Nabiyya", yang artinya nabi menampakkan diri.
Sementara itu, dari segi etimologi, sebutan Makassar berasal dari kata “Mangkasarak”, yang artinya mulia dan berterus terang atau jujur.
Orang-orang yang memiliki sifat "mangkasarak" berarti punya sifat mulia dan jujur, selaras antara perkataan dan hati nuraninya.
Hal tersebut sesuai dengan makna ungkapan Akkana Mangkasarak, yakni berkata terus terang meskipun pahit dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab.
Baca juga: Tom Lembong: Bukan AI yang Menginspirasi Saya, tapi Keberanian Warga
Menurut catatan sejarah, cikal bakal lahirnya Kota Makassar berawal dari 1 April 1906.
Saat itu, pemerintah Hindia Belanda membentuk dewan pemerintahan Gemeente di Kampung Baru yang berada di Pantai Losari dan Benteng Fort Rotterdam. Kawasan ini kemudian berkembang menjadi Kota Makassar.
Nama Makassar sendiri sempat diganti menjadi Ujung Pandang di masa pemerintahan Orde Baru, tepatnya pada 31 Agustus 1971.
Sebelum ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar lebih dulu dikenal dengan sebutan Ujung Pandang pada era 1950-an.
Baca juga: Sejarah Kota Makassar, Dulunya Bernama Ujung Pandang
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 1971 tanggal 1 September 1971, wilayah Kota Makassar berhasil diperluas dari 21 kilometer persegi (km²) menjadi 175 km².
Sementara itu, nama Kota Ujung Pandang diresmikan pada 14 September 1971 berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 1971 yang berlaku pada 1 September 1971.
Perubahan nama dari Makassar menjadi Ujung Pandang ini mendapat tanggapan dari tiga budayawan asal Makassar, seperti A. Zainal Abidin Farid, Mattulada, dan Dg Mangemba.
Ketiga budayawan ini menyampaikan tuntutannya mengenai pengembalian nama Makassar pada 17 Juli 1976.
Baca juga: Sejarah Perubahan Nama Kota Makassar yang Pernah Disebut Ujung Pandang
Sejak saat itu, upaya pengembalian nama terus dilakukan sampai 1995. Pada 21 Agustus 1995, Wali Kotamadya Ujung Pandang Malik B Masry mengadakan seminar untuk membahas pengembalian nama Kota Makassar.
Empat tahun kemudian, diterbitkan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotamadya Ujung Pandang Nomor 05/Pim/DPRD/VIII/1999 yang memuat persetujuan DPRD Kotamadya Ujung Pandang atas rencana perubahan nama Ujung Pandang menjadi Makassar.
Terletak di pesisir barat daya Pulau Sulawesi, Kota Makassar tergolong sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia jika dilihat dari aspek pembangunan dan demografisnya dengan berbagai suku bangsa yang menetap di kota ini.
Suku yang mayoritas tinggal di Kota Makassar adalah suku Makassar, Bugis, Toraja, Mandar, Buton, Jawa, dan Tionghoa.
Baca juga: Mengapa Indonesia Memiliki Banyak Suku Bangsa? Ini Faktor Penyebabnya!
Kota Makassar diperkirakan berkembang setelah dipimpin oleh Raja Gowa ke-9, Tumaparisi Kallonna (1510-1546).
Di masa pemerintahannya, Tumaparisi memindahkan pusat kerajaan dari pedalaman ke tepi pantai, mendirikan benteng di muara Sungai Jeneberang, dan mengangkat seorang syahbandar untuk mengatur perdagangan.
Pada abad ke-16, Makassar telah berubah menjadi pusat perdagangan yang dominan di Indonesia Timur.
Kala itu, raja-raja Makassar telah menerapkan kebijakan perdagangan bebas yang ketat. Seluruh pengunjung di Makassar berhak berdagang di sana, kecuali Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang hendak memperoleh hak monopoli Kota Makassar.
Baca juga: Kolonialisme di Indonesia: Dari VOC hingga Penjajahan Jepang
Selain didukung oleh sektor perdagangan, perkembangan Makassar juga dipengaruhi faktor agama. Rakyat Makassar diketahui bersikap toleran terhadap berbagai macam agama yang ada di Makassar, seperti Islam dan Kristen.
Umat Islam dan Kristen diperbolehkan tetap berdagang di Makassar, sehingga Makassar secara perlahan menjadi pusat perdagangan penting.
Akan tetapi, kontrol kekuasaan Makassar mulai menurun setelah Belanda berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah melalui VOC.
Pada 1669, Belanda bersama dengan Sultan Bone La Tenri Tatta Arung Palakka dan beberapa kerajaan Sekutu Belanda menyerang Kerajaan Gowa-Talloyang karena dianggap sebagai penghalang untuk menguasai rempah-rempah di Indonesia Timur.
Baca juga: Kehidupan Sosial Kerajaan Gowa-Tallo
Setelah berperang, Kerajaan Gowa-Tallo terdesak dan memutuskan menandatangani Perjanjian Bongaya. Melalui penandatanganan ini, Makassar secara resmi berada di bawah kekuasaan VOC.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang