Di penghujung bulan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 80, sejumlah catatan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan dan pemangku jabatan.
Pertama, anak-anak Indonesia masih menjadi sasaran penyakit menular yang semestinya bisa dicegah dengan imunisasi, sanitasi, dan perbaikan gizi yang secara komprehensif menjadi program di setiap puskesmas dan posyandu sebagai ujung tombak saluran edukasi.
Selain itu juga skrining sekaligus layanan imunisasi serta pemberian makanan tambahan, Vitamin A, dan obat cacing dua kali setahun.
Baca juga: Makan Itu tentang Pulang ke Rumah
Kedua, Makan Bergizi Gratis masih menyisakan sejumlah masalah dan keluhan yang mestinya bisa menjadi upaya pencegahan spesifik penurunan angka stunting dan malnutrisi.
Sayangnya, upaya promosi dan edukasi yang sudah gencar dijalankan oleh berbagai pihak juga menuai perlawanan yang tak kalah gencarnya dari mereka yang mempunyai sudut pandang berbeda tentang imunisasi.
Tiga kategori yang kerap ditemui: orangtua yang anaknya mengalami Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) berat dan komunitas penganut wawasan “terrain model”.
Serta yang paling menarik: kelompok masyarakat yang tidak bisa membedakan imunisasi balita dan masalah vaksinasi Covid yang diberlakukan atas dasar “emergency use authorization”-kondisi di mana vaksin bisa digunakan dalam kondisi darurat yang mengancam kesehatan masyarakat saat mengatasi pandemi, sekalipun vaksin masih harus melalui pengembangan produk, validasi dan verifikasi serta penelitian lebih lanjut.
Tiga kategori masyarakat penentang program imunisasi menggunakan media sosial dengan amat masif, bahkan menyuguhkan data-data dan ‘publikasi ilmiah’ yang tak jarang dikutip semena-mena, dipilih mana yang paling menunjang keyakinan mereka.
Sekali pun kerap kali publikasi tersebut telah kedaluwarsa atau bahkan telah dianulir dengan studi yang lebih aktual.
Penggalan rujukan-rujukan ini semakin membuat publik bingung, apalagi ditambah fakta-fakta KIPI mengerikan yang tentunya tidak diharapkan terjadi pada anaknya.
Bahkan, ada orangtua yang masih beranggapan demam pasca imunisasi seperti membuat anak sakit, rewel hingga susah makan.
Anak sehat, buat apa dibikin ‘sakit’? begitu anggapan banyak orang hingga hari ini.
Baca juga: Makanan Bergizi Gratis, Mestinya Tidak Basi dan Bebas Bakteri
Penjelasan demam karena tubuh sedang bereaksi membuat antibodi tidak masuk ke akal mereka. Apalagi, bayangan risiko anak kejang karena demam semakin membuat ngeri.
Orangtua dengan anak berkebutuhan khusus yang kerap dikait-kaitkan sebagai efek samping imunisasi kian gencar memenuhi laman-laman media sosial dan meraup simpati, sekaligus pengikut yang juga meneruskan tautan informasi ke berbagai akun media sosial.
Bisa dipahami rasa kecewa, sakit, khawatir bahkan takut para orangtua ini – apalagi jika jawaban dokter tidak memuaskan mereka.