EKONOMI suatu negara ibarat jantung yang memompa kehidupan ke seluruh sendi bangsa. Dalam mengelola ekonomi nasional, pemerintah menghadapi tantangan yang tidak mudah, terutama ketika harus menjaga keseimbangan antara defisit anggaran, daya beli masyarakat, dan laju pertumbuhan ekonomi.
Ketiganya saling terkait erat dan membentuk suatu trilema kebijakan yang kompleks. Ketika pemerintah mendorong belanja untuk mendorong pertumbuhan, sering kali defisit anggaran melebar.
Di sisi lain, jika anggaran terlalu diketatkan untuk menjaga defisit, daya beli masyarakat bisa tertekan dan pertumbuhan pun ikut terhambat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa defisit APBN tahun 2025 akan melebar dari Rp 616 triliun menjadi Rp 662 triliun atau setara dengan 2,78 persen produk domestik bruto.
Perlambatan penerimaan negara ini, menurut Menkeu, karena beberapa hal seperti pajak pertambahan nilai (PPN) yang tidak jadi dipungut dan dividen BUMN yang saat ini dipegang oleh Danantara.
Baca juga: Mengkritisi Narasi Ketersediaan Lapangan Kerja Pemerintah
Tulisan ini mengajak pembaca untuk menelusuri benang merah antara defisit anggaran, daya beli masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi, serta bagaimana Indonesia harus menyikapi keterkaitan ini di tengah tekanan global dan dinamika ekonomi domestik yang tidak menentu.
Defisit anggaran, daya beli masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi ibarat tiga kaki penyangga dari bangunan bernama perekonomian nasional. Jika satu kaki melemah, maka kestabilan pun terganggu.
Secara sederhana, defisit anggaran terjadi ketika pengeluaran negara lebih besar dari pendapatannya dalam satu tahun anggaran.
Dalam konteks Indonesia, postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sering kali mengalami defisit sebagai bagian dari strategi ekspansi fiskal untuk mendorong pembangunan dan stabilisasi ekonomi.
Defisit anggaran bukanlah momok yang harus ditakuti selama digunakan secara produktif. Dalam situasi krisis atau perlambatan ekonomi, defisit dapat menjadi alat yang penting untuk mendorong pertumbuhan melalui belanja infrastruktur, bantuan sosial, hingga subsidi energi.
Namun demikian, defisit yang terus membengkak tanpa arah strategis akan membebani fiskal negara di masa depan.
Tingkat defisit yang terlalu tinggi dapat memicu pembiayaan utang yang meningkat. Pembayaran bunga utang akan menyedot anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk sektor produktif.
Di sisi lain, ketergantungan pada utang luar negeri dapat meningkatkan kerentanan terhadap fluktuasi nilai tukar dan tekanan geopolitik.
Oleh karena itu, defisit anggaran perlu dikelola secara hati-hati agar defisit cukup besar untuk mendorong pertumbuhan, tapi tidak terlalu besar hingga menjadi bumerang fiskal.
Di sisi lain, daya beli masyarakat justru melemah. Daya beli masyarakat adalah indikator kunci dalam kesehatan ekonomi suatu bangsa.
Ketika masyarakat memiliki kemampuan membeli barang dan jasa, permintaan dalam negeri meningkat, dan ini mendorong produksi, investasi, serta penciptaan lapangan kerja.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, daya beli masyarakat Indonesia mengalami tekanan. Kombinasi antara kenaikan harga bahan pokok, pelemahan nilai tukar rupiah, dan stagnasi upah riil telah memperkecil kemampuan konsumsi rumah tangga.
Kondisi ini diperparah efek pandemi COVID-19 yang menyisakan luka mendalam dalam bentuk pengangguran terselubung dan kelompok rentan ekonomi yang belum pulih sepenuhnya.
Meskipun secara statistik inflasi tetap terkendali, masyarakat kerap merasakan bahwa harga-harga “terasa lebih mahal” karena pertumbuhan pendapatan tidak sejalan dengan kenaikan kebutuhan hidup.
Baca juga: Kampus Top Dunia Mulai Menolak LPDP
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya