Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nicholas Martua Siagian
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia

Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif.

RAPBN 2026 dan Buntunya Inovasi Fiskal Daerah

Kompas.com - 25/08/2025, 12:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SERATUS hari pertama masa kerja kepala daerah selalu menjadi titik awal ekspektasi publik. Di tengah euforia pelantikan dan sorotan media, janji-janji kampanye diuji dalam realitas birokrasi yang rumit dan struktur fiskal terbatas.

Alih-alih menjadi periode akselerasi, tak sedikit kepala daerah justru tersandera pada keraguan, stagnasi, bahkan keengganan melakukan inovasi pembangunan.

Sejumlah kepala daerah, dalam berbincangan dengan penulis, mengaku berada dalam posisi dilematis ketika hendak menyalurkan belanja daerah.

Alasannya cukup kompleks. Pertama, adanya kekhawatiran kebijakan belanja yang diambil akan bertentangan dengan arahan pemerintah pusat, terutama dalam konteks program-program strategis nasional yang cenderung top-down.

Kedua, dinamika regulasi yang berubah cepat tanpa disertai mekanisme transisi yang jelas sering kali menyebabkan keraguan dalam mengeksekusi program-program inovatif.

Ketiga, ruang fiskal daerah yang sempit karena sebagian besar alokasi dana sudah ‘disetting’ untuk membiayai agenda pusat, menjadikan belanja publik untuk pembangunan seringkali menjadi prioritas nomor dua.

Baca juga: Pertaruhan Prabowo: Mencegah Pati-Pati Lain dan Moratorium PBB

Jika kita melihat data pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025, ekonomi nasional hanya tumbuh sebesar 4,87 persen—melambat dari kuartal sebelumnya (5,02 persen) dan lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu (5,11 persen).

Ini menunjukkan tekanan eksternal masih membayangi, mulai dari kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat hingga ketidakpastian geopolitik yang menahan laju investasi.

Namun, pada kuartal II-2025, pertumbuhan membaik menjadi 5,12 persen. Pertanyaannya, apakah angka tersebut benar-benar mencerminkan realitas ekonomi masyarakat? Atau hanya pencapaian angka makro tanpa makna mikro?

Persoalan kenaikan pajak

Dalam kondisi ekonomi yang masih rapuh, mendongkrak fiskal daerah tentu menjadi prioritas semua kepala daerah.

Sebab, ekonomi daerah yang kuat akan memberi kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Salah satu cara yang paling cepat—tapi belum tentu tepat—adalah menaikkan pendapatan asli daerah (PAD), termasuk lewat kenaikan pajak.

Di sinilah kontroversi terbaru dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mencuat ke permukaan. Kebijakan Bupati Sudewo yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen pada 2025, menuai kritik tajam dari masyarakat.

Alasan yang dikemukakan karena tarif PBB belum pernah naik selama 14 tahun, sehingga penyesuaian dianggap wajar guna mendukung pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik.

Namun, yang menjadi sorotan bukan hanya soal angka persentase kenaikannya, melainkan cara berkomunikasi dan minimnya pendekatan teknokratis dalam kebijakan tersebut.

Alih-alih memberikan argumentasi berbasis data dan mengedepankan partisipasi publik, Bupati Pati justru melontarkan pernyataan yang mengusik hati masyarakat: “Siapa yang akan melakukan penolakan? Silakan lakukan. Jangan hanya 5.000 orang, 50.000 orang saja suruh kerahkan. Saya tidak akan gentar, saya tidak akan mengubah keputusan.”

Pernyataan tersebut tidak hanya melukai nalar publik, tetapi juga memperlihatkan absennya semangat demokrasi yang seharusnya menjadi pondasi utama dalam proses perumusan kebijakan.

Baca juga: Rent-Seeking Behaviour: Ketika Negara Sibuk Memungut, Lupa Menumbuhkan

 

Dalam tata kelola pemerintahan modern, komunikasi pejabat publik bukanlah sekadar demonstrasi keberanian berbicara, melainkan manifestasi dari kepekaan sosial, keteladanan moral, dan integritas etika pelayanan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau