FENOMENA ekonomi Indonesia belakangan ini memperlihatkan gejala yang kian mencolok. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, lebih sibuk mencari tambahan penerimaan melalui pungutan dan kenaikan tarif.
Mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang naik signifikan, retribusi daerah yang semakin beragam, penambahan tunjangan anggota DPR RI, hingga tarif masuk kebun binatang.
Sementara itu, persoalan royalti musik lokal yang tak kunjung tertangani juga menunjukkan betapa orientasi kebijakan cenderung pada upaya “memungut”, alih-alih membangun ekosistem yang sehat.
Pola ini oleh ekonom klasik disebut sebagai rent-seeking behaviour—suatu perilaku mencari keuntungan dari regulasi tanpa menciptakan nilai tambah nyata (Krueger, 1974).
Baca juga: Pajak dan Protes Rakyat dalam Sejarah Indonesia
Pertanyaannya, apakah Indonesia sedang terjebak pada jalan pintas fiskal, dan melupakan visi jangka panjang untuk menumbuhkan ekonomi?
Kenaikan PBB di sejumlah daerah belakangan ini menjadi contoh konkret. Fenomena ini selaras dengan konsep fiscal laziness, yaitu kemalasan fiskal di mana pemerintah lebih nyaman menaikkan tarif atau menambah pungutan daripada melakukan reformasi struktural yang lebih kompleks (Tanzi & Zee, 2000).
Di daerah, pola yang sama tampak ketika Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih banyak digali melalui retribusi parkir, pungutan perizinan, atau PBB, bukan dari basis usaha produktif.
Teori pertumbuhan endogen menekankan inovasi dan investasi teknologi sebagai motor utama pembangunan (Romer, 1990).
Namun, ekspor Indonesia masih didominasi komoditas mentah sekitar 55 persen, sementara manufaktur hanya 45 persen, mencerminkan lemahnya transformasi struktural.
Meski ekspor barang dan jasa tumbuh 7,63 persen pada 2024, impor naik lebih tinggi 10,36 persen, sehingga net ekspor justru menekan pertumbuhan. Ini menandakan ekspor belum menjadi mesin kokoh.
Sebaliknya, sektor ekonomi kreatif mulai menonjol dengan nilai 12,36 miliar dollar AS pada semester I 2024, membuka peluang diversifikasi non-komoditas.
Mengabaikan inovasi, investasi, dan diversifikasi ekspor berarti menunda transformasi ekonomi. Pertanyaannya, beranikah Indonesia menjadikan ketiganya sebagai prioritas pembangunan?
Ketergantungan pada pungutan membebani masyarakat. Kenaikan PBB, retribusi, atau tarif masuk fasilitas publik meningkatkan biaya hidup tanpa jaminan kualitas layanan publik.
Secara makro, fenomena ini berisiko menyeret Indonesia ke middle income trap. Negara berpendapatan menengah kerap gagal naik kelas karena pertumbuhannya berbasis konsumsi dan pungutan, bukan inovasi dan produktivitas (Gill & Kharas, 2007).
Baca juga: Mencegah Kutukan Demografi: Merealisasi Janji 19 Juta Lapangan Kerja
Menurut teori pembangunan institusional, pola ini menunjukkan lemahnya kualitas institusi yang lebih sibuk “memungut rente” ketimbang mendorong penciptaan nilai tambah (Acemoglu & Robinson, 2012).