KOMPAS.com - Turis asal Irlandia, Paul Farrell (32) hampir bernasib sama seperti Juliana Marins (26) yang meninggal dunia karena terjatuh ke jurang sedalam 600 di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat pada Sabtu (21/6/2025).
Paul pada Oktober tahun lalu, juga terjatuh di sekitar 200 meter di medan yang curam dan berbahaya.
Farrell ingat peristiwa tersebut. Ia bangun bangun pagi sekali di base camp untuk memulai pendakian. Menurutnya, bagian pertama pendakian mudah, tapi sulit untuk mencapai puncak.
"Tanah di sana berbeda, saya melangkah maju satu langkah tapi mundur dua langkah. Karena kami berada di gunung berapi, tanahnya berpasir dan kaki bisa tenggelam," ungkapnya dalam wawancara dengan BBC News Brasil.
Baca juga: Pelajaran dari Rinjani, Ketahui Cara Kirim Sinyal Darurat di Gunung
Setelah mencapai puncak gunung, Farrell merasa terganggu oleh kerikil-kerikil kecil di dalam sepatu kets yang dikenakannya.
"Karena tidak nyaman, saya memutuskan untuk melepas sepatu kets untuk mengeluarkan kerikil. Saya juga melepas sarung tangan agar leluasa mencopot sepatu," kata Paul Farrell.
Tiba-tiba embusan angin menerbangkan sarung tangannya ke arah gunung berapi.
"Pada saat itu, saya berlutut. Tanah tempat saya berdiri runtuh begitu saja."
Farrell jatuh dari tebing dan, menurutnya, ia masuk ke "mode bertahan hidup."
"Kecepatan saya jatuh makin cepat, adrenalin terpompa. Saya segera menyimpulkan bahwa saya bisa mati kapan saja."
"Saya mencoba menancapkan kuku dan tangan saya ke apa saja, hanya untuk memperlambat. Sampai saya melihat sebuah batu besar dan saya mencoba mengalihkan jalan saya ke arah batu itu."
"Saya menabrak batu itu, tetapi untungnya saya berhasil menghentikan laju jatuh."
Farrell berhenti sekitar 200 meter di kedalaman jurang. Di sana, dia bisa mengatur napas dan melihat bahwa—walau telah terjatuh ratusan meter—tubuhnya hanya menderita beberapa luka dan goresan.
"Meski begitu, saya tidak aman. Di tempat itu, saya bisa terpeleset kapan saja."