CIREBON, KOMPAS.com- Matahari belum sempurna terbit. Tapi semangat Muhamad Adi Supriyadi (47) sudah menyala sejak fajar.
Seragam coklat khas pegawai negeri sipil disetrika rapi. Satu kebiasaan yang tak pernah ia lewatkan: mencabut kabel pengisi daya yang menyalurkan energi ke motor listriknya.
Indikator baterai nyaris penuh. Pertanda motornya siap bekerja. Bertanggung jawab sebagai pencetak generasi masa depan bangsa. Sejak tahun 2008, Yadi bergegas dengan suara mesin yang senyap, tanpa polusi asap, dan tanpa kebisingan.
Di jalan raya Pantura Cirebon - Kuningan yang mulai ramai, motor listrik Yadi melaju pelan. Dia berada di antara deru kendaraan berbahan bakar minyak. Ia melaju dalam diam, seakan berpesan: tak semua perubahan harus terdengar kencang.
Yadi adalah orang pertama setelah penjaga tiba di sekolah. Yadi adalah guru matematika sekaligus Wakil Kepala Sekolah Bidang Sarana dan Prasarana, SMP Negeri 12 Kota Cirebon.
Baginya, rumus masa depan tak selalu ditulis dengan angka, melainkan dengan tindakan kecil yang diulang setiap hari. Konsistensi.
Baca juga: Mahasiswa Unair Ciptakan Pendeteksi Siklus Baterai Kendaraan Listrik Menggunakan AI dan IoT
Yadi menunjukan kaos Let's Go Green Cirebon tahun 2008, sebagai hadiah usai pembelian motor listrik yang dia gunakan pertama kali di tahun 2008, di depan rumah Agung Perumnas, Kota Cirebon pada Senin (20/10/2025) siang. Yadi bersama Agung, adik kandungnya, yang juga menggunakan motor listrik untuk kebutuhan ojek onlinnya sejak tahun 2017 sampai hari ini. Keduanya menginspirasi dan membangun ekosistem penggunaan kendaraan listrik masa depan.Cerita ini Yadi susun sejak tahun 2008. Saat itu, harga BBM terus melonjak dan pasokan sering langka. Dia kerap kali kesulitan untuk mengisi bahan bakar di SPBU. Tak jarang dia ikut mengantre.
Biaya BBM yang terus naik disertai pengeluaran yang tinggi membuat dia berpikir ulang untuk memenuhi kebutuhan menghidupi istri serta anaknya.
“Dulu saya pulang-pergi naik angkot lalu beli motor. Namun, sejak 2003 hingga 2008, BBM terus naik, sampai Rp6.000 per liter. Itu cukup memberatkan saya beli bensin, gaji guru saat itu tidak seberapa, saya mencari yang lebih hemat, udah gitu saya harus antri lama,” kata Yadi saat ditemui di sekolahnya pada Senin (20/10/2025) pagi.
Yadi memilih jalan yang berbeda. Dia memutuskan pilihan yang dianggap aneh saat itu. Dia membeli dan menggunakan motor listrik.
Baginya ini bukan perkara mudah. Dia harus beradaptasi mengganti kebiasaan lama dengan yang baru.
Kapasitas daya baterai yang kecil membuat motor Yadi kerap mati sebelum sampai rumah hingga terpaksa mendorong. Kecepatannya pun terbatas. Motor listrik generasi pertama yang ia beli tak secanggih motor listrik sekarang.
Teman sesama guru di sekola kerap kasihan, karena menilai Yadi menyulitkan diri sendiri. Tapi Yadi tak putus asa apalagi menyerah.
Dia terus melaju, karena yakin, perubahan tak datang tiba-tiba. Dia butuh proses dan konsistensi.