Babak final itu dimulai sejak perempat final atau delapan besar hingga grand final. Dan babak final itu digelar terpusat di Arab Saudi--negara yang belakangan menjadi tujuan pemain-pemain terbuang dari Eropa bermain dan menghimpun dollar AS dalam jumlah besar.
AFC punya justifikasi menetapkan negara tertentu sebagai tuan rumah untuk menggelar perempat final, semifinal dan final mengacu pada format anyar Piala Dunia Antarklub 2025 yang berlangsung di Amerika Serikat.
Terkesan klop, meskipun membatasi akses kota-kota di seantero Asia untuk disinggahi klub-klub sohor dari Asia Barat dan Asia Timur.
Makin absurd dan edan ketika AFC menunjuk Arab Saudi sebagai tuan rumah babak final untuk musim 2024/2025 dan 2025/2026.
Tudingan bahwa AFC "miring" ke negara-negara Arab di Asia Barat seolah mendapat pembenaran.
Mungkin kota-kota di Arab Saudi, yang sedang merayakan kompetisi sepak bola dianggap lebih siap dengan format anyar itu. Kompetisi sepak bola yang sedang naik daun dan dollar AS adalah kombinasi pas.
Saya tidak kaget ketika membaca kabar bahwa Asosiasi Sepak Bola Jepang (JFA) dilaporkan bakal cabut atau out dari AFC.
Musim lalu, dua klub dari Jepang, Kawasaki Frontale dan Yokohama F. Marinos, lalu Gwangju FC dari Korea Selatan serta Buriram United asal Thailand masuk perempat final.
Empat klub dari Asia Timur dan Asia Tenggara ini bentrok dengan empat klub dari Timur Tengah (tiga klub dari Arab Saudi dan satu klub dari Qatar).
Hasilnya, tiga klub dari Saudi Pro-League masuk semifinal. Kawasaki Frontale menyempil di antara kerumunan tiga klub Arab Saudi.
Di partai puncak, Kawasaki takluk 0-2 atas Al-Ahli yang antara lain diperkuat dua pemain jebolan Liga Premier Inggris, Firmino (Liverpool) dan Ivan Toney (Brentford).
Format anyar dengan menunjuk Arab Saudi sebagai tuan rumah sedikit banyak menguntungkan Al Ahli, Al Hilal dan Al Nassr.
Apa manfaatnya melangsungkan Liga Champions Elite Asia dengan format tuan rumah sejak perempat final, semifinal dan grand final? Kepentingan industri kah?
Menurut saya itu tidak sangkil. Perempat final dan semifinal dengan sistem home and away jauh lebih mengeduk kapital. Pertama, itu sangat fair untuk klub yang masuk perempat final dan semifinal.
Kedua, jumlah pertandingannya lebih banyak sehingga memberi peluang klub yang masuk perempat final dan semifinal mengantongi penghasilan lebih besar. Bahkan, jika tidak dirasa bertele-tele, partai puncak (final) pun bisa dipatok home dan away.
Ada satu hal lagi yang mengganggu dari keputusan AFC. Itu tak lain penyebutan AFC Champions League Elite atau Liga Champions Elite Asia. Kemudian ada AFC Champions League Two atau Liga Champions AFC Dua (Espn.com, 15 September 2024).
Label "elite" ini berlebihan. Dalam sepak bola memang ada kasta, tapi itu ditentukan melalui metode kompetisi. Ia diseleksi secara alamiah menurut kompetisi.
Kemudian, kok ada dua Liga Champions di satu konfederasi atau benua? Apa AFC kurang referensi untuk memberi nama kompetisi sepak bola yang mereka helat?
Di Eropa, ada tiga kompetisi dan itu menunjukkan kasta kompetisi. Liga Champions adalah kasta tertinggi, lalu Liga Europa dan Liga Konferensi.
Nama kompetisinya berbeda dan kualifikasi klub yang dapat bermain di tiga kompetisi tingkat benua itu juga jelas dan pasti.
AFC beranggotakan 47 negara. Luas Asia menembus 49,7 juta kilometer persegi atau 30 persen dari total luas daratan bumi. Cuma konfederasi sepak bolanya solid.
Bandingkan dengan benua Amerika. Dari Utara ke Selatan benua Amerika tersambung oleh Tanah Genting Panama. Ini jembatan darat yang lebarnya sekitar 30 mil atau 50 kilometer pada titik tersempitnya.
Dunia tahu di benua Amerika ada dua konfederasi sepak bola. Sebanyak 41 negara di Amerika Utara, Amerika Tengah dan Karibia bergabung dalam Concacaf. Sementara 10 negara di Amerika Selatan menghimpun diri dalam Conmebol.
Conmebol atau confederacion Sudamericana de Futbol berdiri pada 9 Juli 1916 atau 14 tahun sebelum Piala Dunia pertama tahun 1930 digelar.
Dari konfederasi ini ada tiga negara juara dunia, yakni Uruguay (Piala Dunia 1930 dan 1950), Brasil (Piala Dunia 1958, 1962, 1970, 1994 dan 2002) serta Argentina (1978, 1986 dan 2022).
Negara-negara latin merupakan kiblat sepak bola indah yang meramu bakat individu dan kolektivitas.
Konfederasi sepak bola di benua Asia bisa saja dibelah jadi dua. Pertama, ada preseden Conmebol dan Concacaf di benua Amerika.
Kedua, ada urgensi memecah konfederasi jika memang AFC terus-menerus membuat keputusan yang dianggap menguntungkan negara tertentu dan di saat yang sama merugikan negara anggota lainnya.
Indonesia, Irak, Uni Emirat Arab dan Oman pernah sangat dirugikan karena ditunjuknya Arab Saudi serta Qatar sebagai tuan rumah putaran keempat kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Begitupun Jepang dan Korea Selatan dirugikan dalam penetapan Arab Saudi sebagai tuan rumah babak final Liga Champions Elite Asia musim lalu.
Sejauh ini JFA, asosiasi sepak bola Jepang, membantah kabar bahwa mereka ingin keluar dari AFC sebagaimana dilaporkan media di Irak.
Wacana keluar dari AFC ini pun pernah digaungkan pecinta bola Indonesia tahun 2024 lalu. Waktu itu, Bahrain meminta AFC agar laga Indonesia Vs Bahrain dipindah dari Jakarta ke tempat netral. Alasannya Bahrain diancam oleh pecandu tim nasional Indonesia di media sosial.
Nah, sebagai gertakan agar AFC bersikap fair mencuatlah ide membentuk AFC tandingan atau melahirkan konfederasi baru yang mendepak 12 negara dari Timur Tengah.
Buat saya membuat konfederasi baru di Asia cukup masuk akal. Secara geografi, Asia terlalu luas. Negara-negara di Asia Barat, Asia Tengah dan Asia Selatan tetap bersama AFC.
Sedangkan negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara membangun konfederasi anyar.
Tiga serangkai, yakni Jepang, Korea Selatan serta China bisa didaulat menjadi inisiator karena dua alasan.
Pertama, secara ekonomi merupakan kekuatan penting dunia. Dan kedua, ketiganya sukses mengembangkan kompetisi sepak bola domestik serta berpengalaman merumput di Piala Dunia.
Yang tersisa tinggal satu: Jepang dan negara-negara lain yang dirugikan oleh keputusan-keputusan AFC mau menggunakan haknya atau tidak. Ini zaman ketika berhimpun dalam konfederasi yang terlampau gendut sering tak menguntung.
Buat Indonesia, hitung-hitungannya harus sangat rasional. Apakah membentuk konfederasi baru dapat menjamin Indonesia lolos ke Piala Dunia 2030?
Seandainya Jepang, Korea Selatan dan China bersatu pun ongkosnya tetap mahal. Dan terakhir, FIFA sebagai induk sepak bola dunia, ramah atau tidak dengan ide "separatis" beginian.
Setidaknya setiap ide, diskursus dan kritik yang mencuat sanggup menginsyafkan AFC untuk lebih hati-hati dalam merumuskan serta menetapkan keputusan. Bagaimana pun itu mempertaruhkan sepak bola Asia yang tetap di belakang prestasi Afrika ini.
https://bola.kompas.com/read/2025/10/22/06450028/sepak-bola-dalam-bahaya--jepang-berhak-out-dari-afc