Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Somnofilia Menurut Psikolog: Gejala dan Penyebabnya

Kompas.com - 21/04/2025, 14:00 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

KOMPAS.com - Somnofilia, istilah ini mungkin terdengar asing bagi orang awam. Ini merupakan salah satu bentuk kelainan seksual (parafilia).

Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Psikiater) dr. Zulvia Oktanida Syarif, Sp.KJ mengatakan bahwa somnofilia memang jarang terjadi di dunia.

“Semua kelainan seksual itu bukanlah kasus yang umum atau sering terjadi,” kata Zulvia yang akrab disapa Vivi kepada Kompas.com pada Senin (21/4/2025).

Istilah ini muncul dalam kasus pemerkosaan anak pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat oleh seorang dokter dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad).

Modus dokter PPDS perkosa anak pasien menyerupai pola perilaku pengidap somnofilia atau Sleeping Beauty Syndrome.

Pihak kepolisian Jawa Barat saat itu mengatakan bahwa pelaku menyadari mempunyai kecenderungan suka dengan orang yang sedang tidak sadarkan diri.

Baca juga: Dokter Residen yang Perkosa Keluarga Pasien Diduga Alami Somnofilia, Apa Itu?

Somnofilia yang bisa membahayakan

Vivi menjelaskan bahwa somnofilia membuat seseorang memiliki fantasi, dorongan, dan perilaku seksual terhadap seseorang yang tidur, tidak sadar, atau pingsan.

“Ada yang sifatnya kelainan seksual yang belum termasuk gangguan mental. Ada yang sifatnya sudah ke arah gangguan mental, kita sebutnya gangguan somnofilia,” ujar psikiater yang berpraktik di RSUD Tarakan Jakarta ini.

Gangguan somnofilia terjadi ketika seseorang sudah memiliki kecenderungan somnofilia selama minimal 6 bulan atau lebih.

Vivi mengatakan, gangguan somnofilia berada pada tahap yang sudah bisa membahayakan penderitanya dan orang lain.

“Dia sendiri (penderita) mengalami penderitaan karena kelainan seksualnya. Ini bisa membahayakan dirinya atau orang lain karena kelainan seksualnya tersebut mengganggu fungsi kehidupan,” ucapnya.

Ada risiko orang dengan gangguan somnofilia menjadi predator seksual.

Namun, Vivi mengatakan bahwa itu tidak selalu.

“Tidak selalu, tapi orang yang mengidap gangguan somnofilia berisiko menjadi predator seksual,” terangnya.

Baca juga: Kasus Dokter Perkosa Keluarga Pasien: Menkes Sebut Pegawasan Penggunaan Obat Bius Lemah

Gejala somnofilia yang sulit dideteksi dini

Vivi mengatakan orang dengan somnofilia memiliki ciri-ciri khas pada pemikiran hingga perilakunya.

Psikiater yang juga berpraktik di RSPI Pondok Indah ini mengungkapkan, mereka yang menderita somnofilia akan memiliki fantasi, khayalan, atau kecenderungan mudah terangsang, ketika melihat orang yang tidak sadarkan diri.

“Jadi, bisa terangsang secara seksual, sampai membayangkan, atau justru melihat orang yang tidur atau pingsan, kemudian dia jadi melakukan misalnya, masturbasi atau ingin menyetubuhi orang yang lagi tidak sadar itu,” terangnya tentang gejala somnofilia yang bisa muncul.

Jika somnofilia belum memengaruhi perilaku penderitanya, Vivi mengatakan, kelainan seksual ini sulit dideteksi.

“Sulit untuk mendeteksi dini karena semua fantasi dan ketertarikan seksual itu kan sifatnya individual di dalam pikiran masing-masing orang,” ucapnya.

Menurutnya, somnofilia baru bisa dideteksi ketika penderitanya sudah menunjukkan perilaku yang tidak wajar.

“Jadi, kalau orang sekitar melihat perilaku-perilaku yang tidak wajar, yang mengarah pada kelainan seksual itu harus segera ditindaklanjuti,” tuturnya.

Jika memang menunjukkan kelainan seksual, Vivi menyarankan untuk penderita diajak untuk konseling ke dokter spesialis kejiwaan agar bisa dievaluasi kondisi kejiwaannya dan diarahkan ke tahap perawatan.

Baca juga: Dokter Residen Perkosa Keluarga Pasien di RSHS, PDSKJI Beri Rekomendasi Ini…

Penyebab somnofilia yang tidak diketahui

“Sampai saat ini penyebab pasti (somnofilia) belum diketahui,” kata Vivi.

Namun, sama seperti gangguan mental atau kelainan mental lainnya, ia mengatakan, ada beberapa faktor yang memengaruhi di antara lainnya adalah faktor biologis, psikologis, dan sosial.

“Tentunya kita perlu mengevaluasi apakah ada faktor genetik atau gangguan-gangguan biologis, yang kemudian faktor psikologis, faktor perkembangan kepribadiannya,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, di mana dan bagaimana lingkungan hidup penderita menghabiskan waktu juga bisa memengaruhi pembentukan kelainan seksual somnofilia.

“Apakah ada tekanan-tekanan sosial dan sebagainya,” ucapnya.

Ia menambahkan bahwa pada somnofilia, faktor psikologis dan sosial lebih dominan dibandingkan faktor biologisnya.

Baca juga: Belajar dari Kasus Pemerkosaan oleh Dokter PPDS, Kenali Jenis-jenis Kelainan Seksual

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau