NUSANTARA, KOMPAS.com – Kementerian Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, bersama Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI), melepasliarkan enam individu orangutan ke Hutan Kehje Sewen, Kabupaten Kutai Timur.
Kegiatan ini merupakan pelepasliaran ke-27 di Kawasan Lindung Ibu Kota Nusantara (IKN) Samboja Lestari sejak 2012, menambah jumlah orangutan hasil rehabilitasi yang kembali ke habitat alaminya menjadi 136 individu.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan, pelepasliaran spesies primata endemik Kalimantan ini merupakan hasil kerjasama koordinatif dan konsolidatif seluruh pihak.
Baca juga: Tahun 2026, Pemerintah Akan Petakan Ulang ASN yang Pindah ke IKN
"Ini membuktikan komitmen kami untuk menyelamatkan orangutan, satwa yang terancam akibat pembangunan dan kerusakan lingkungan, baik oleh manusia maupun bencana alam seperti kebakaran hutan,” ujar Raja Juli, Selasa 922/4/2025).
Ia menegaskan, pelepasliaran ini bukan hanya memberikan dampak kebahagiaan, tetapi juga tantangan untuk lebih serius menjaga kelestarian hutan, ekosistem, dan habitat satwa liar.
Enam orangutan yang dilepasliarkan, terdiri dari tiga jantan dan tiga betina, merupakan hasil penyelamatan dari konflik manusia-orangutan, termasuk kasus di wilayah pertambangan di Kalimantan Timur.
CEO BOSF Jamartin Sihite menjelaskan, 90 persen orangutan di pusat rehabilitasi seluas 1.800 hektar tersebut berasal dari konflik, seperti dipelihara ilegal, tersingkir akibat pembangunan, atau ditemukan dalam kondisi lemah.
“Sebelum dilepasliarkan, mereka menjalani rehabilitasi intensif di Samboja Lestari untuk memastikan kesehatan dan kemampuan bertahan di alam liar. Kami tidak asal mengembalikan ke hutan; ini soal reputasi bangsa dalam mengelola satwa dilindungi,” ungkap Jamartin.
Baca juga: Pemindahan ASN ke IKN Tunggu Arahan Prabowo
Jamartin mengungkapkan, BOSF saat ini merawat sekitar 350 orangutan yang berasal dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, dengan 113 di antaranya tidak dapat dilepasliarkan karena kondisi kesehatan atau ketidakmampuan beradaptasi di alam liar.
Untuk itu, BOSF berencana membangun pulau-pulau konservasi seluas minimal 5 hektar dengan vegetasi pohon buah sebagai tempat tinggal yang menyerupai habitat alami.
Biaya pembuatan pulau didanai melalui penggalangan dana dari donor nasional dan internasional.
Di sisi lain, untuk membuat habitat orangutan, menurut Jamartin, memerlukan kebijakan negara dalam menetapkan kawasan konservasi dan mengizinkan unit bisnis seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sebagai lokasi pelepasliaran.
Ia juga mengusulkan pemanfaatan pulau-pulau kosong di Sungai Mahakam atau Teluk Balikpapan untuk menampung orangutan yang tidak dapat kembali ke hutan.
Sementara itu, Kepala BKSDA Kalimantan Timur M. Ari Wibawanto melaporkan bahwa dalam tiga tahun terakhir (2022–2024), pihaknya telah menangani 71 kasus interaksi negatif antara manusia dan orangutan.