KOMPAS.com – Menteri Dalam Negeri ( Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menginstruksikan pemerintah daerah (pemda) untuk bergerak cepat mewujudkan swasembada pangan sebagai langkah strategis dalam menghadapi musim kemarau 2025.
Instruksi tersebut disampaikan Tito dalam Rapat Koordinasi (Rakor) bertajuk Percepatan Swasembada Pangan Menghadapi Musim Kemarau 2025.
Rakor tersebut digelar secara hybrid di Ruang Sidang Utama (RSU), Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Tito menjelaskan bahwa ketahanan pangan tidak hanya penting bagi kemandirian bangsa, tetapi juga berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi.
Baca juga: BI Pangkas Suku Bunga Jadi 5,5 Persen, Fokus Jaga Inflasi dan Pertumbuhan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Indonesia tercatat 1,60 persen year-on-year (yoy) pada Mei 2025.
Persentase tersebut menunjukkan bahwa harga pangan relatif stabil dan daya beli masyarakat tetap terjaga.
“Pangan merupakan hal yang utama. Selain untuk melatih kemandirian, juga berfungsi menjaga pertumbuhan ekonomi dan angka inflasi karena termasuk kategori angka barang yang bergejolak tergantung pasar, suplai, dan permintaan” kata Tito.
Baca juga: Studi Ungkap Hanya Satu Negara di Dunia yang Bisa Swasembada Pangan
Lebih lanjut, Tito menambahkan bahwa meski stok beras nasional saat ini dinilai mencukupi, tantangan tetap bisa muncul akibat musim kemarau.
Meskipun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi kemarau tahun ini bersifat basah, Presiden Prabowo Subianto tetap menargetkan agar produksi pertanian tidak terganggu.
Bahkan, pemerintah berharap produksi beras dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan nasional, tetapi juga membuka peluang ekspor.
“Kita salah satu konsumen beras dunia. Selama ini kita importir beras, tetapi kalau bisa swasembada pangan apalagi mengekspor. Itu akan sangat berpengaruh pada harga beras dunia karena dari konsumen menjadi eksportir,” ujar Tito.
Baca juga: Punya Stok 4 Juta Ton, Indonesia Bakal Ekspor Beras ke Malaysia, Lewat BUMN atau Swasta?
Poin lain yang disoroti oleh Tito dalam rakor kali ini adalah pentingnya penyerapan dan pengelolaan stok beras secara optimal.
Isu tersebut menjadi perhatian khusus, terutama di daerah yang harga berasnya masih di atas harga eceran tertinggi (HET). Contohnya, terjadi di kawasan Indonesia Timur dan wilayah kepulauan, seperti Nias.
“Terima kasih juga Bulog yang sudah menyerap beras. Tantangan kita adalah bagaimana kita bisa menyerap dan kemudian menyetok dengan baik,” tambah Tito.
Ia juga meminta para kepala daerah, sekretaris daerah (sekda), serta organisasi perangkat daerah (OPD), terutama Dinas Pertanian, untuk bergerak bersama.
Baca juga: 50 Kepala Daerah Akan Ikut Retreat di IPDN Jatinangor selama 5 Hari
Dalam rakor tersebut, disampaikan pula bahwa Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendagri akan menggelar rapat khusus dengan inspektorat daerah.
Rapat itu diagendakan untuk memantau langsung progres percepatan produksi pangan di masing-masing wilayah.
“Membuat sistem pelaporan daerah yang sudah bergerak menangani pompanisasi dan irigasi serta mendorong kesediaan air di daerah masing-masing, khususnya penghasil beras. Daerah yang tidak bergerak, nanti akan kita evaluasi,” ungkap Tito.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Pertanian ( Mentan) Andi Amran Sulaiman memaparkan bahwa stok beras nasional saat ini mencapai 4 juta ton—tertinggi dalam 57 tahun terakhir.
Baca juga: Stok Beras Juni 2025 Tembus 4 Juta Ton, Tertinggi dalam 57 Tahun
Ia mengungkapkan, stok beras Indonesia juga pernah mencapai angka tinggi, yakni 3 juta ton, pada 1984.
Amran menekankan pentingnya sinergi seluruh pemangku kepentingan dalam menjaga dan meningkatkan produksi beras.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa periode Juni hingga September akan menjadi fase krusial dalam produksi padi.
Oleh karena itu, penguatan pompanisasi, perbaikan irigasi, serta penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) menjadi prioritas.
Amran memastikan program pompanisasi akan terus dijalankan secara masif di berbagai daerah guna menjaga produktivitas sawah di tengah minimnya curah hujan.
“Ini yang menentukan titik kritis kita kalau produksi beras. Untuk mitigasi risiko kekeringan dan seterusnya, kita ada pompa dan kita bagikan 80.000 unit di seluruh Indonesia. Ada alsintan dan perbaikan irigasi,” ucapnya.
Amran juga menyoroti hambatan dalam pelaksanaan irigasi yang belum terintegrasi antarlevel pemerintahan.
Ia menyebut ada banyak proyek irigasi yang tidak berdampak signifikan terhadap hasil panen karena sistem irigasinya tidak terkoneksi dari hulu ke hilir.
Untuk mengatasi hal itu, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan, Peningkatan, Rehabilitasi, serta Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi untuk Mendukung Swasembada Pangan.
Inpres tersebut mengatur pembangunan dan pengelolaan jaringan irigasi di Indonesia, termasuk jaringan primer, sekunder, dan tersier.
Kebijakan itu bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, khususnya pada lahan yang mengandalkan sistem irigasi.
“Jaringan irigasi primer, sekunder, dan tersier itu dulu dikerjakan oleh kabupaten, kemudian provinsi, dan pusat. Saat ini, seluruhnya bisa dikerjakan pusat atau provinsi kabupaten,” pungkas Amran.