Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/03/2025, 17:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Aktivitas manusia menjadi biang keladi kejadian hilangnya keanekaragaman hayati semua spesies di seluruh planet Bumi.

Temuan tersebut mengemuka berdasarkan studi sintesis terhadap lebih dari 2.000 penelitian. Studi tersebut dilakukan oleh Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology (Eawag) dan University of Zurich.

Studi tersebut diterbitkan di Jurnal Nature mencakup hampir 100.000 lokasi di seluruh benua, sebagaimana dilansir The Guardian, Rabu (26/3/2025).

Hasil dari studi menemukan, aktivitas manusia telah mengakibatkan dampak yang belum pernah terjadi sebelumnya pada keanekaragaman hayati.

Baca juga: Pasca-COP16, Pemerintah Perkuat Pendanaan Keanekaragaman Hayati

Florian Altermatt, profesor ekologi akuatik di University of Zurich dan kepala Eawag, mengatakan, studi tersebut adalah salah satu sintesis terbesar dari dampak manusia terhadap keanekaragaman hayati yang pernah dilakukan di seluruh dunia.

Tim peneliti mengamati habitat darat, air tawar, dan laut, serta mencakup semua kelompok organisme, termasuk mikroba, jamur, tumbuhan, invertebrata, ikan, burung, dan mamalia.

Rata-rata, jumlah spesies di lokasi yang terkena dampak aktivitas manusia hampir 20 persen lebih rendah daripada di lokasi yang tidak terpengaruh oleh manusia.

Kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat parah tercatat di antara reptil, amfibi, dan mamalia. Populasi mereka seringkali lebih kecil daripada invertebrata, sehingga meningkatkan kemungkinan risiko kepunahan.

Baca juga: Bagaimana Keanekaragaman Hayati Pengaruhi Kehidupan Manusia?

Analisis tersebut mencakup lima faktor pemicu penurunan yakni perubahan habitat, eksploitasi sumber daya secara langsung, perubahan iklim, spesies invasif, dan polusi.

Francois Keck, penulis utama studi tersebut menuturkan, kelima faktor tersebut memiliki dampak yang kuat terhadap keanekaragaman hayati di seluruh dunia, di semua kelompok organisme, dan di semua ekosistem.

Pertanian

Polusi dan perubahan habitat yang sering kali disebabkan oleh pertanian memiliki dampak negatif yang sangat besar pada keanekaragaman hayati. 

Pertanian intensif, khususnya pertanian lahan kering, memerlukan pestisida dan pupuk dalam jumlah yang sangat besar.

Penggunaan bahan-bahan kimia tersebut tak hanya menurunkan keanekaragaman hayati, tetapi juga mengubah komposisi spesies.

Baca juga: Ekspor Pertanian Sebabkan Dampak Negatif bagi Keanekaragaman Hayati

"Bukan hanya jumlah spesies yang menurun. Tekanan manusia juga mengubah komposisi komunitas spesies," ujar Keck

Di daerah pegunungan, misalnya, tanaman endemik di sana digantikan oleh tanaman yang biasanya tumbuh di dataran rendah. 

Proses ini rawan membuat tumbuhan endemik punah karena tanaman dataran tinggi tidak punya tempat lain untuk dituju. 

Ini bisa berarti bahwa meskipun jumlah spesies mungkin tetap sama, keanekaragamannya berkurang.

"Menahan kurva hilangnya dan perubahan keanekaragaman hayati kontemporer adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat kita," kata para peneliti. 

Baca juga: Sebagian Besar Keanekaragaman Hayati Hutan Hujan Terancam

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Perubahan Iklim Bisa Ganggu Kualitas Tidur, Kok Bisa?
Perubahan Iklim Bisa Ganggu Kualitas Tidur, Kok Bisa?
Pemerintah
Koalisi Manajer Aset Net Zero Kembali, Tapi Tanpa Komitmen Iklim 2050
Koalisi Manajer Aset Net Zero Kembali, Tapi Tanpa Komitmen Iklim 2050
Pemerintah
7.500 Peserta Ikuti PLN Electric Run 2025, Ajang Lari Nol Emisi Pertama di Indonesia
7.500 Peserta Ikuti PLN Electric Run 2025, Ajang Lari Nol Emisi Pertama di Indonesia
BUMN
Jangkar Kapal Merusak Terumbu Karang di TN Komodo, Potret Gagalnya Tata Kelola Pariwisata
Jangkar Kapal Merusak Terumbu Karang di TN Komodo, Potret Gagalnya Tata Kelola Pariwisata
LSM/Figur
Studi Ungkap Emisi Penerbangan Nyata Bisa Tiga Kali Lipat Lebih Tinggi dari Kalkulator Karbon
Studi Ungkap Emisi Penerbangan Nyata Bisa Tiga Kali Lipat Lebih Tinggi dari Kalkulator Karbon
Pemerintah
Sektor Pertanian Harus Tumbuh 4,7 Persen Per Tahun Jika Pertumbuhan PDB RI Ingin Capai 8 Persen
Sektor Pertanian Harus Tumbuh 4,7 Persen Per Tahun Jika Pertumbuhan PDB RI Ingin Capai 8 Persen
LSM/Figur
Kemenaker: 104 Kecelakaan Kerja Terjadi di 'Smelter' Nikel, SOP hingga K3 Masih Diabaikan
Kemenaker: 104 Kecelakaan Kerja Terjadi di "Smelter" Nikel, SOP hingga K3 Masih Diabaikan
Pemerintah
Emisi Tak Terlihat dari Colokan Listrik
Emisi Tak Terlihat dari Colokan Listrik
Pemerintah
Pertamina dan KLHK Tanam Ratusan Pohon Produktif di Hulu DAS di Bogor
Pertamina dan KLHK Tanam Ratusan Pohon Produktif di Hulu DAS di Bogor
BUMN
Tropenbos Indonesia: Restorasi Gambut Swakelola di Tingkat Tapak Butuh Pendampingan
Tropenbos Indonesia: Restorasi Gambut Swakelola di Tingkat Tapak Butuh Pendampingan
LSM/Figur
KLH Targetkan Dekontaminasi Cikande Selesai Akhir November
KLH Targetkan Dekontaminasi Cikande Selesai Akhir November
Pemerintah
Puncak Musim Hujan, BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Banjir
Puncak Musim Hujan, BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Banjir
Pemerintah
Menteri LH: Cengkih Terpapar Radioaktif Asal Lampung Tertangani
Menteri LH: Cengkih Terpapar Radioaktif Asal Lampung Tertangani
Pemerintah
Menyelamatkan Lahan Kritis Indonesia dari Desa: Pelajaran Ekologi dari Perlang
Menyelamatkan Lahan Kritis Indonesia dari Desa: Pelajaran Ekologi dari Perlang
Pemerintah
PLTN Pulau Gelasa dan Ujian Tata Kelola Risiko
PLTN Pulau Gelasa dan Ujian Tata Kelola Risiko
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau