JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mencatat pesut mahakam di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur hanya tersisa 62 ekor. Menteri LH, Hanif Faisol Nurofiq, mengatakan meski populasinya kian mengkhawatirkan, penyelamatan satwa endemik ini justru dilakukan warga negara asing.
Ia mengaku sempat menerima video kelahiran dua bayi pesut mahakam pada pekan lalu.
"Kami berterima kasih atas upaya teman-teman di (konservasi) pesut mahakam ini, dan yang sangat disayangkan pelopornya justru orang dari Belanda bukan dari kita," ungkap Hanif dalam A Multi-Stakeholder Dialogue: Plastic, Climate and Biodiversity Nexus Forum yang digelar WWF Indonesia di Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).
Baca juga: Dari Pesut ke Badak, Bappenas Tekankan Nilai Ekonomi Biodiversitas
Hanif menyoroti lemahnya keterlibatan pemerintah daerah dan masyarakat dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia. Ia menyebut, kendati Indonesia dikenal memiliki indeks keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brazil, sebagian besar inisiatif penyelamatan justru datang dari pihak luar.
"Ini pesut-pesut kita kenapa yang melindungi orang Belanda? Saya ajak bupati dan gubernur waktu itu kunjungan ke sana, Alhamdulillah bupati dan gubernur waktu itu juga belum pernah menyentuh desa tersebut," imbuh dia.
Dalam kesempatan itu, Hanif turut menyinggung tingginya konflik antara manusia dengan satwa liar yang berakhir tragis. Sebab, sebagian besar satwa ditemukan mati.
"Kemarin kami mendengar bahwa ada satu harimau sumatera dan dua anaknya keluyuran ke kantornya BRIN di Sumatera. Artinya apa? Kita belum mampu memitigasi bagaimana kita menanggulangi biodiversity kita," ucap Hanif.
Baca juga: Belantara Foundation: Koeksistensi Manusia dan Satwa Liar Jadi Keniscayaan
Hal serupa terjadi pada badak kalimantan yang kini tersisa dua ekor. Selain itu, ia menyinggung pentingnya pengelolaan High Conservation Value (HCV) di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit, terutama di Provinsi Riau yang hampir 60 persen wilayahnya ditutupi sawit.
Dari total 8 juta hektare lahan di Riau, 4,5 juta di antaranya merupakan perkebunan sawit. Padahal, ini merupakan habitat asli gajah, harimau, maupun orangutan.
"Saya sudah ke Tesso Nilo melalui flyover dengan helikopter kemudian terbang ke Rukan Hilir dan Rukan Hulu. Alhamdulillah hampir tidak ada hutannya lagi," sebut Hanif.
Oleh sebab itu, dia meminta organisasi non pemerintah seperti Yayasan WWF Indonesia fokus pada isu keanekaragaman hayati dan mempercepat implementasi Indonesia Biodiversity Strategic Action Plan (IBSAP).
"Lakukan langkah-langkah penting di dalam penyelamatan biodiversity. Kementerian Lingkungan Hidup akan berada di belakangnya, mendukung penuh upaya WWF dalam penyelamatan biodiversity," tutur dia.
Baca juga: Pesut Mahakam Tinggal 62 Ekor, Limbah Tambang Jadi Ancaman Besarnya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya