JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna, menyampaikan bahwa saat ini koeksistensi atau hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan satwa liar sudah menjadi keniscayaan.
Salah satu cara yang dapat diaplikasikan adalah menggunakan pendekatan conflict to coexistence, dengan mengubah konflik menjadi sebuah koeksistensi. Konflik itu termasuk antara manusia dengan orangutan tapanuli.
Pendekatan yang holistik dan adaptif ini menerapkan empat prinsip utama, yakni menjaga toleransi, berbagi tanggung jawab, membangun ketahanan, serta mengedepankan holisme.
"Hasil utama yang diharapkan dari pendekatan ini adalah pelestarian satwa liar, hidup berdampingan, perlindungan habitat, dan mengamankan mata pencaharian dan aset masyarakat," kata Dolly dalam keterangannya, Sabtu (6/9/2025).
Baca juga: IPB dan Kemenhut Bangun Pusat Bayi Tabung untuk Satwa Liar yang Terancam Punah
Hal ini disampaikannya, dalam acara Belantara Learning Series bertajuk Peluang Koeksistensi Dalam Upaya Konservasi Orangutan Tapanuli yang digelar Belantara Foundation, PT Agincourt Resources, Program Studi (Prodi) Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, dan LPPM Universitas Pakuan.
Dia menjelaskan, untuk membangun dan mewujudkan koeksistensi antara manusia dengan satwa liar yang berkelanjutan diperlukan adanya langkah konkret. Ini termasuk perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan, keterlibatan masyarakat dan pendidikan, serta manajemen konflik manusia dengan satwa liar.
Lainnya, terwujudnya penghidupan masyarakat yang berkelanjutan, berjalannya penegakan hukum yang tegas, penelitian llmiah dan pemantauan secara regular, kolaborasi dan kemitraan multi pihak, hingga kebijakan yang mendukung di pusat dan daerah.
Terakhir, komitmen jangka panjang dari para pihak, serta berjalannya pelestarian dan perlindungan habitat satwa liar.
"Kami percaya bahwa dengan adanya kemauan dan komitmen bersama, serta kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, NGO, masyarakat lokal, serta media, mimpi kita bersama untuk menciptakan lingkungan di mana manusia dan satwa liar dapat hidup berdampingan secara harmonis dapat diwujudkan," ucap Dolly.
Sementara itu, Associate Fellow Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia sekaligus Co founder Anama Consulting, Sundjaya, mengatakan strategi konservasi orangutan tapanuli berbasis masyarakat lokal mulai berkembang dan penting.
Baca juga: Atasi Konflik Satwa-Manusia, Koridor Gajah Aceh Bakal Direplikasi di Lampung
Etnografi, metode riset dalam antropologi, dapat menjadi langkah awal memahami aspek sosial kultural masyarakat di sekitar hutan dan interaksi mereka dengan orangutan tapanuli.
Melalui analisis mendalam dan menyeluruh, etnografi dapat memperkuat strategi dan kebijakan konservasi yang melibatkan pengetahuan dan budaya masyarakat adat atau komunitas lokal, terutama untuk mengoptimalkan faktor-faktor yang dapat mendorong partisipasi aktif mereka dalam pelestarian orangutan tapanuli.
Direktur Konservasi dan Genetik Ditjen KSDAE Kementerian Kehutanan, Nunu Anugrah, mengungkapkan konservasi orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) menghadapi sejumlah tantangan. Baik yang disebabkan aktivitas manusia maupun perubahan alam.
Beberapa tantangan utamanya antara lain fragmentasi dan menyempitnya habitat, perburuan, perdagangan ilegal, isolasi populasi, risiko genetik penyakit, kesadaran pendidikan, serta konflik dengan manusia. Secara hukum, orangutan tapanuli dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.
"Berbagai inisiatif telah dilaksanakan untuk mendorong koeksistensi antara manusia dan orangutan tapanuli, seperti restorasi habitat, perlindungan serta pengamanan populasi dan habitat orangutan, rehabilitasi orangutan karena jumlah populasinya yang rendah," tutur Nunu.
Baca juga: Hari Gajah Sedunia, Ahli Ingatkan Pentingnya Koeksistensi dengan Satwa
"Perlindungan intensif pada kantong-kantong habitat orangutan, pengawasan dan penegakan hukum, serta penyadartahuan dan edukasi publik," imbuh dia.
International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) telah memublikasikan dokumen panduan tentang konflik dan koeksistensi manusia dengan satwa liar pada 2023 lalu.
Tujuannya, menjelaskan berbagai langkah komprehensif dan efektif yang harus dipertimbangkan sebelum penerapan penanganan konflik dan koeksistensi manusia dan satwa liar.
Selain itu, memberikan masukan mengenai langkah apa saja yang dapat digunakan dalam pengelolaan konflik dan koeksistensi manusia-satwa liar.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya