GUNUNG Gede Pangrango kembali “beristirahat.” Namun bukan karena letusan, longsor, atau kebakaran hutan seperti bencana yang biasa menimpa satu gunung. Tetapi, sejak 13 Oktober lalu, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) ditutup sementara untuk pendakian karena alasan yang ironis : terlalu banyak sampah yang ditinggalkan manusia.
Betapa getir mendengar alasan ini. Di negeri yang menjual keindahan alam sebagai wajah pariwisatanya, sebuah gunung justru harus ditutup karena keindahan itu tercemar oleh perilaku pengunjung. Seakan kita diingatkan lagi, bahwa sebagian masyarakat belum benar-benar siap menjadi eco-tourist, wisatawan yang berbudaya lingkungan.
Data petugas Balai Besar TNGGP mencatat, setiap akhir pekan ribuan orang memadati jalur pendakian Cibodas, Gunung Putri, hingga Selabintana. Tiga jalur resmi pendakian menuju TNGGP. Di balik semangat menaklukkan puncak, tersisa jejak yang menyedihkan: plastik makanan ringan, kemasan sachet, botol minuman, hingga sisa kaleng gas portable. Dalam beberapa titik, tim patroli bahkan menemukan tumpukan sampah seperti mini-TPA.
Baca juga: Terlalu Banyak Sampah, Jalur Pendakian Gunung Gede Pangrango Ditutup
Fenomena ini menunjukkan dua hal. Pertama, bahwa over-tourism telah menjangkiti wisata alam. Gunung tidak lagi diperlakukan sebagai ruang sakral untuk belajar kerendahan hati, tetapi sekadar lokasi untuk konten media sosial. Pendaki datang bukan untuk merenung, tadabur alam, melainkan karena FOMO. Fear of Missing Out, alias takut ketinggalan momen.
Kedua, sistem pengelolaan sampah di destinasi alam belum benar-benar adaptif terhadap lonjakan wisatawan. Edukasi, regulasi, hingga fasilitas pendukung sering kali tertinggal. Padahal, isu sampah di destinasi wisata bukanlah persoalan baru. Kita sudah terlalu sering mendengarnya, dari pantai hingga puncak gunung.
Kasus penutupan Gede Pangrango ini mestinya jadi titik balik yang memaksa kita meninjau ulang pola pikir dan tata kelola wisata alam di Indonesia. Pertama, perlu disadari bahwa sampah di gunung bukan sekadar urusan pendaki, tapi juga urusan sistem. Pengelola kawasan sering berhenti pada imbauan “bawa turun sampahmu,” tapi tak disertai mekanisme kontrol dan insentif yang jelas. Tidak ada sistem waste deposit (jaminan sampah) misalnya, yang membuat pendaki membawa kembali seluruh sampahnya turun.
Baca juga: 3 Jalur Pendakian Resmi Gunung Gede Pangrango, Simak Jarak ke Puncak
Di sisi lain, edukasi lingkungan bagi pendaki sering kali bersifat formalitas. Pelatihan zero waste hiking atau green camp tidak banyak dilakukan secara berkelanjutan. Komunitas pecinta alam sebenarnya sudah banyak berinisiatif, tapi belum semua pendaki –terutama pendaki yang FOMO tadi-- melewati ruang pembelajaran semacam itu.
Kedua, kita perlu berani mengakui bahwa pariwisata alam kita masih berorientasi pada jumlah, bukan kualitas. Selama target kunjungan menjadi tolok ukur keberhasilan, maka daya dukung lingkungan akan selalu terancam. Idealnya, pengelolaan taman nasional memiliki batas kunjungan harian yang disesuaikan dengan kapasitas ekologis dan kesiapan fasilitas. Pembatasan semacam ini mungkin tidak populer secara ekonomi, tapi lebih berkelanjutan bagi masa depan alam.
Ketiga, penutupan ini mestinya menjadi momentum bagi media dan masyarakat untuk meninjau ulang makna “wisata alam.” Bahwa mendaki gunung bukan hanya soal menaklukkan ketinggian, tetapi juga menundukkan ego. Gunung bukan destinasi untuk ditinggali jejak kita, melainkan ruang untuk belajar leave no trace — tanpa meninggalkan jejak.
Baca juga: Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Tutup Sementara Mulai 13 Oktober 2025
Gunung Gede Pangrango adalah simbol keseimbangan ekologi di Jawa Barat. Menjadi sumber air bagi jutaan warga, penyangga iklim, sekaligus ruang spiritual bagi banyak orang. Jika gunung sampai harus “menutup diri” karena perilaku kita, maka itu tanda bahwa relasi antara manusia dan alam sedang sakit.
Menjaga gunung seharusnya bukan tugas petugas taman nasional semata. Ia adalah panggilan moral setiap pendaki, setiap pegiat wisata, setiap warga bumi. Seperti dikatakan pegiat lingkungan legendaris Jane Goodall: kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita, kita hanya meminjamnya dari anak cucu kita.
Penegasan ini disampaikan Jane Goodall dalam wawancara yang dimuat di laman University of Cambridge berjudul "My greatest hope is our young people". Dikatakannya, ‘We haven’t inherited this planet from our parents, we’ve borrowed it from our children’. Penutupan Gede Pangrango adalah peringatan keras. Bukan hanya agar kita berhenti membuang sampah, tetapi agar kita mulai membersihkan cara pandang — bahwa mencintai alam berarti menjaga martabatnya.
Baca juga: Operasi Bersih Sampah 2,4 Ton di Gunung Gede Pangrango, Didominasi Plastik
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya