JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana pemerintah mengembangkan Proyek Strategis Nasional (PSN) tebu untuk produksi etanol di Merauke, Papua Selatan, dinilai tak menjawab tantangan utama transisi bahan bakar bersih. Sebagaimana diketahui, Kementerian Kehutanan melepaskan kawasan hutan seluas 486.939 hektare untuk PSN di Merauke.
Direktur Tropenbos Indonesia, Edi Purwanto, berpandangan proyek tersebut justru berpotensi meningkatkan deforestasi.
"Harusnya renewable energy (energi terbarukan) tidak membuka hutan. Renewable energy benar-benar dihasilkan dari renewable energy betul, kalau membuka hutan itu bukan renewable energy, itu merusak hutan," ungkap Edi di sela Focus Group Discussion (FGD) di Bogor, Jumat (31/10/2025).
Baca juga: PSN Merauke Dikritik Picu Deforestasi, Pemerintah Bilang Siap Reforestasi
Pengembangan bioenergi, kata dia, semestinya berangkat dari sumber yang tidak menimbulkan deforestasi baru. Dia mengusulkan agar pemerintah mengoptimalkan komoditas sawit yang dikelola secara berkelanjutan tanpa merambah dengan penerapan sustainability traceability due diligence process (STDP) secara ketat.
STDP memastikan produk berbahan baku bioenergi dihasilkan dari sumber yang tidak menyebabkan deforestasi, konflik lahan, atau pelanggaran hak masyarakat lokal.
"Jadi petani-petani benar-benar melakukan di lahan yang green and clear, tidak di hutan. Itu bisa saja nanti menghasilkan etanol yang benar juga," tutur Edi.
Pemerintah berencana mengubah hutan di Merauke menjadi konsesi kebun tebu untuk etanol, cetak sawah baru, dan perkebunan sawit guna memproduksi B50. Padahal, berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), selama tiga dekade terakhir Papua kehilangan tutupan hutan primer hingga 688.000 hektare.
Baca juga: PSN di Merauke Picu Invasi Sosio-Ekologis, Hutan dan Budaya Terancam
Sementara, pada periode 2022-2023 laju deforestasi di wilayah ini mencapai 552.000 ha. Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian, menyatakan langkah tersebut justru akan melepaskan emisi 140 juta-299 juta ton CO2.
“Jadi bisa dibayangkan jika 2 juta hektare hutan Papua akan diubah menjadi konsesi pangan dan energi, emisi yang dilepaskan akan jauh lebih besar, dan ini berkontradiksi dengan komitmen iklim Indonesia," papar dia.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Walhi Papua, Maikel Peuki, menyatakan pelepasan hutan juga akan memperparah konflik agraria di Papua Selatan.
PSN dan pelepasan kawasan hutan tidak didasarkan pada persetujuan masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah. Mereka disebut menolak kehadiran PSN lantaran takut terusir dari wilayah adatnya.
"Proyek pangan skala besar ini justru akan menghancurkan sumber pangan lokal masyarakat adat, padahal mereka menggantungkan hidup pada sagu. Hasil hutan dan perikanan yang semuanya itu ada di hutan mereka,” tutur Maikel.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya