JAKARTA, KOMPAS.com - Pelepasan kawasan hutan seluas 486.939 hektare untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke, Papua Selatan baru-baru ini menuai konflik karena dinilai bakal memicu deforestasi. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, selama tiga dekade terakhir Papua kehilangan tutupan hutan primer hingga 688.000 hektare.
Sementara, pada periode 2022–2023 laju deforestasi di wilayah ini mencapai 552.000 ha. Merespons hal tersebut, Wakil Menteri Kehutanan, Rohmat Marzuki, mengatakan pihaknya bersiap merehabilitasi lahan.
"Ketika sektor kehutanan juga harus memenuhi kepentingan strategis sektor lain, maka kemudian kami juga harus berpikir bagaimana mengimbangi itu dengan reforestasi. Misalkan rehabilitasi hutan dan lahan yang kritis, kemudian pemulihan ekosistem," kata Rohmat ditemui di Jakarta Barat, Selasa (21/10/2025).
Baca juga: PSN di Merauke Picu Invasi Sosio-Ekologis, Hutan dan Budaya Terancam
"Karena kami di Kementerian Kehutanan juga harus mengamkomodir kepentingan dari pertanian, perkebunan dan sektor lain, yang itu menjadi sektor strategis," imbuh dia.
Rohmat mejelaskan, pelepasan kawasan hutan untuk PSN dilakukan sebagai bagian dari visi besar pemerintah dalam mewujudkan kemandirian pangan, energi, dan air.
Dengan begitu, Indonesia tak akan lagi mengimpor dari sektor pangan ataupun energi.
"Kemudian dari energi itu nanti akan secara bertahap kita swasembada, akan mengurangi impor. Misalkan ada tanaman yang nanti bisa menjadi etanol," ucap dia.
Di sisi lain, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian, menyampaikan di dalam area hutan yang dilepaskan terdapat 24 kampung milik masyarakat adat. Kampung itu antara lain Kampung Bibikem, Kampung Yulili, Kampung Wogekel, Kampung Wanam, Kampung Woboyu, Kampung Dodalim, Kampung Dokib, Kampung Wamal, Kampung Yowid, Kampung Welbuti, Kampung Sanggase, Kampung Alatep, Kampung Alaku, Kampung Dufmira, Kampung Iwol, Kampung Makalin, Kampung Es Wambi, Kampung Maghai Wambi, Kampung Onggari, Kampung Domande Kampung Kaipursei, Kampung Zanegi, dan Kampung Kaliki.
“Pernyataan Menteri ATR/BPN terkait tidak ada yang bermukim di wilayah tersebut adalah sebuah kesalahan besar, sekaligus menunjukkan sikap tidak hormatnya Menteri ATR/BPN pada masyarakat adat Papua," ungkap Uli dalam keterangannya, Senin (6/10/2025).
Baca juga: Ahli IPB Beberkan Alasan PSN di Pulau Rempang Harus Dievaluasi
Menurut Walhi, lahan seluas 265.208 ha di Merauke termasuk hutan alam. Pemerintah berencana mengubahnya menjadi konsesi kebun tebu untuk etanol, cetak sawah baru, dan perkebunan sawit untuk B50. Uli berpandangan, langkah ini justru melepaskan emisi 140 juta-299 juta ton CO2.
“Jadi bisa dibayangkan jika 2 juta hektar hutan Papua akan diubah menjadi konsesi pangan dan energi, emisi yang dilepaskan akan jauh lebih besar, dan ini berkontradiksi dengan komitmen iklim Indonesia," papar dia.
Pelepasan hutan juga dianggap akan memperparah konflik agraria di Papua Selatan. Pasalnya, PSN dan pelepasan kawasan hutan tidak didasarkan pada persetujuan masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah. Mereka disebut menolak kehadiran PSN lantaran takut terusir dari wilayah adatnya.
"Proyek pangan skala besar ini justru akan menghancurkan sumber pangan lokal masyarakat adat, padahal mereka menggantungkan hidup pada sagu. Hasil hutan dan perikanan yang semuanya itu ada di hutan mereka,” tutur Direktur Eksekutif Walhi Papua, Maikel Peuki.
Selain itu, pelepasan hutan berisiko merusak ekosistem Merauke sebagai habitat satwa endemik seperti kasuari, kanguru pohon, serta cenderawasih.
Baca juga: Food Estate dan Orang Asli Papua
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya