KOMPAS.com - Kerusakan hutan akibat kebakaran mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada tahun 2024.
Peningkatan kerusakannya sangat drastis, terutama pada hutan primer tropis yang terbakar hingga 370 persen lebih luas dibandingkan tahun sebelumnya.
Konsekuensi dari kebakaran masif itu adalah makin banyaknya emisi karbon yang dilepaskan serta mendorong hilangnya keanekaragaman hayati.
Melansir Down to Earth, Kamis (30/10/2025), menurut laporan The 2025 State of the Climate: A Planet on the Brink yang diterbitkan pada 30 Oktober 2025, total kehilangan tutupan pohon global diperkirakan mencapai 29,6 juta hektar (Mha) pada tahun 2024.
Angka ini adalah yang tertinggi kedua yang pernah dicatat, di mana 4,7 persen lebih tinggi dibandingkan dengan kerugian yang terjadi pada 2023.
Baca juga: 500 Warga Lokal Tambang Emas Ilegal di Area Hutan Dekat Sirkuit Mandalika
Peningkatan tajam ini sebagian besar disebabkan oleh lonjakan kerugian terkait kebakaran, yang diperburuk oleh perubahan iklim dan kondisi El Niño.
“Kerugian di dalam hutan primer tropis sangat besar pada tahun 2024, dengan kerugian akibat kebakaran mencapai rekor tertinggi sebesar 3,2 juta hektar, dibandingkan dengan hanya 0,69 juta hektar pada tahun 2023. Itu artinya peningkatan sebesar 370 persen,” demikian pernyataan laporan tersebut.
Kebakaran juga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem yang parah, dengan kerusakan hutan primer tropis pada tahun 2024 saja yang menghasilkan emisi hampir 3,1 gigaton karbon dioksida (CO2) setara.
Itu sekitar 8 persen dari seluruh emisi yang dihasilkan manusia pada tahun tersebut.
Krisis ini berlanjut hingga tahun 2025, dengan kebakaran hutan besar-besaran yang tercatat di berbagai benua. Pada bulan Januari, kebakaran di California, Amerika Serikat, menghanguskan lebih dari 57.000 hektar, meninggalkan kerugian ekonomi sekitar 250 miliar dolar AS.
Sementara pada bulan Maret, kebakaran hutan melanda 370 hektar di Jepang dan 48.000 hektar di Korea Selatan.
Kebakaran juga terjadi di Kanada yang menghanguskan 1,58 juta hektar lahan, sebagian besar disebabkan oleh perubahan iklim. Sedangkan bulan Agustus, musim kebakaran hutan di Uni Eropa telah mencapai yang terluas, melebihi 1 juta hektar lahan yang terbakar.
“Ini mencontohkan lingkaran umpan balik iklim yang berbahaya. Kebakaran melepaskan emisi karbon yang besar yang mempercepat pemanasan global, yang pada gilirannya memicu lebih banyak aktivitas kebakaran,” tulis laporan itu lagi.
Kebakaran hutan juga memiliki konsekuensi langsung terhadap kesehatan masyarakat, dengan paparan asap dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Baca juga: Pemerintah Godok Revisi UU Kehutanan, Fokuskan Pengelolaan Hutan
Laporan tersebut juga menyoroti krisis keanekaragaman hayati global yang semakin cepat, dengan populasi satwa liar anjlok hingga 73 persen selama lima dekade terakhir.
Perubahan iklim telah menjadi pendorong utama hilangnya keanekaragaman hayati, yang memengaruhi spesies di berbagai wilayah dan rentang.
Saat ini, lebih dari 3.500 spesies satwa liar yang dinilai terancam secara langsung oleh perubahan iklim, dengan beberapa di antaranya telah menunjukkan tanda-tanda penurunan populasi.
Laporan tersebut memperingatkan bahwa konsekuensi ekologis dan ekonomi yang lebih luas dari perubahan ini masih kurang dipahami tetapi kemungkinan akan semakin intensif.
Gangguan terkait iklim terhadap keanekaragaman hayati dapat berdampak luas pada pertanian, ketahanan pangan, rekreasi, pariwisata, dan bahkan penyebaran penyakit yang ditularkan melalui hewan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya