JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah tengah menggodok Revisi Undang-Undang atau RUU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 dan UU Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.
Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, mengatakan, langkah ini dilakukan untuk memperkuat tata kelola hutan nasional, sekaligus memberi ruang lebih besar bagi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam menjalankan perannya.
"Saya kira disini nanti kami akan bicarakan dengan baik (ke Kemeterian Dalam Negeri). Rasanya kalau tidak ada naungan hukum yang cukup baik yang memberikan ruang kepada KPH, maka hampir pasti sulit kami menjaga hutan," ungkap Raja Juli di kantornya, Rabu (29/10/2025).
Pemerintah memastikan regulasi yang baru memberi ruang partisipasi lebih luas kepada KPH untuk terlibat langsung dalam pengelolaan hutan.
Baca juga: Hutan Dikepung Sawit: Perempuan Kalimantan Menghidupkan Dapur dan Anyaman Harapan
Kemenhut membuka peluang kerja sama lintas pihak agar KPH dapat kembali berdaya. Raja Juli menyebut, KPH juga harus dilibatkan dalam proyek Forestry and Other Land Uses (FOLU).
"Saya kira dari pencapaian target Folu Net Sink 2030, KPH harus dilibatkan. Dana yang kita dapatkan juga bisa didistribusikan, dialokasikan kepada KPH dengan konteks-konteks yang spesifik," ucap dia.
Dalam kesempatan itu, dia menyinggung komitmen Indonesia merehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas 12 juta hektare, sebagaimana disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Umum PBB.
Pemerintah menargetkan hutan sebagai penyumbang ketahanan pangan dan energi. Lalu, revitalisasi industri dan ekonomi kehutanan dari hulu ke hilir. Pengakuan dan perlindungan hutan adat, serta pengentasan kemiskinan ekstrem di sekitar kawasan hutan.
Selanjutnya, meningkatkan keadilan dalam pembagian manfaat nilai ekonomi karbon, dan pencegahan kebakaran hutan, ataupun bencana hidrometeorologis lainnya.
Baca juga: Kemenhut: Penebangan Hutan Terencana Bukan Deforestasi, Indonesia Beda dengan Eropa
Diberitakan sebelumnya, sejumlah pakar menilai bahwa Revisi Undang-Undang Kehutanan yang tengah dibahas DPR RI harus menjadi momen untuk mengakhiri warisan kolonial dalam tata kelola hutan.
UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 dianggap tidak lagi relevan dalam menghadapi kompleksitas dan konflik kehutanan saat ini. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menyampaikan pentingnya mengubah paradigma kehutanan.
“Dekolonisasi hutan mensyaratkan perubahan cara pandang dari negara sebagai pengelola utama menjadi rakyat sebagai pilar utama," tutur Yance, Sabtu (12/7/2025).
Dia berpandangan, rule of law kehutanan harus berlandaskan keadilan sosial dan ekologis. Bukan sekadar legalisasi kontrol negara. UUK juga dianggap bertentangan dengan semangat keadilan dalam UU Pokok Agraria (UUPA).
UUPA secara tegas membongkar asas domein verklaring, doktrin kolonial yang mengeklaim tanah tak berpemilik sebagai milik negara. Aturan itu memberikan pandangan terkait tanah, air, ruang angkasa, dan isi bumi, serta menghubungkan manusia dengan ruang hidupnya.
Sebaliknya, lanjut dia, UUK memisahkan masyarakat adat dari tanahnya melalui pengaturan status hak.
Baca juga: Kemenhut Siapkan Rp 6 T untuk Belanja Pegawai hingga Penanganan Kehutanan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya