KOMPAS.com - Laporan baru dari UN Women menemukan 1 dari 3 kelompok telah menangguhkan atau menutup program-program yang bertujuan untuk mengakhiri kekerasan berbasis gender.
Hasil tersebut berdasarkan survei global terhadap 428 kelompok hak-hak perempuan dan masyarakat sipil.
Melansir laman resmi United Nations, Senin (27/10/2025) lebih dari 40 persen telah mengurangi atau menutup layanan-layanan penting seperti rumah singgah, bantuan hukum, dukungan psikososial dan layanan kesehatan karena kekurangan dana yang mendesak.
Dampak pemotongan dana ini akhirnya menghambat kemampuan organisasi untuk membantu korban. Sejumlah besar responden (80 persen) melaporkan bahwa akses bagi para penyintas kekerasan berkurang.
Baca juga: Diterpa Bencana Iklim, Perempuan Pesisir Tangguh dan Pandai Shifting Pekerjaan
Sementara 59 persen mengatakan bahwa pelaku kekerasan makin sering luput dari hukum. Selain itu juga kekerasan berbasis gender semakin dianggap sebagai hal yang biasa dalam masyarakat.
“Organisasi hak-hak perempuan adalah tulang punggung kemajuan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan, namun mereka didorong hingga ke ambang batas,” kata Kalliopi Mingeirou, kepala bagian Pengakhiran Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Perempuan di UN Women.
“Kita tidak boleh membiarkan pemotongan dana menghapus kemajuan yang telah kita raih dengan susah payah selama beberapa dekade. Kami menyerukan kepada pemerintah dan para donor untuk melindungi, memperluas, dan membuat pendanaan lebih fleksibel. Tanpa investasi yang berkelanjutan, kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan hanya akan meningkat,” paparnya lagi.
Hanya lima persen organisasi yang disurvei mengatakan mereka dapat mempertahankan operasi selama lebih dari dua tahun, dan 85 persen memperkirakan kemunduran parah terhadap hukum dan perlindungan bagi perempuan dan anak perempuan.
Baca juga: Hutan Dikepung Sawit: Perempuan Kalimantan Menghidupkan Dapur dan Anyaman Harapan
Sementara itu, lebih dari separuh juga menyuarakan keprihatinan serius tentang meningkatnya ancaman terhadap pembela hak asasi manusia perempuan.
Seiring menipisnya pendanaan, banyak kelompok terpaksa memprioritaskan layanan darurat daripada advokasi jangka panjang yang mendorong perubahan sistemik.
Kekerasan terhadap perempuan tetap menjadi salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling banyak di dunia.
Menurut data UN Women, sekitar 736 juta perempuan atau hampir 1 dari 3 pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual, paling sering dilakukan oleh pasangan intim.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya