KOMPAS.com - Riset hasil kerja sama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan program kerja sama Indonesia-Australia KONEKSI mengungkap bahwa perempuan pesisir di Jawa telah melek iklim.
Pada saat yang sama, riset juga menunjukkan bahwa meski perempuan menjadi pihak yang menanggung beban besar, mereka justru mampu agile dan responsif terhadap tantangan iklim serta berperan besar di komunitasnya.
Tim peneliti mengkaji kelompok rentan di pesisir utara Jawa seperti Jakarta, Semarang, Demak, dan Pekalongan. Mereka ingin mengamati pengaruh perubahan iklim terhadap perempuan serta mencari tahu cara mereka beradaptasi.
“Sembilan puluh persen perempuan menyatakan bahwa climate change itu sudah real. Jadi mereka sudah menyadari bahwa ini adalah perubahan iklim,” kata Laely Nurhidayah, salah satu anggota tim peneliti.
Kesadaran soal iklim di antaranya muncul karena banjir rob yang menggenangi rumah, memicu migrasi, serta ikan yang semakin sulit didapatkan. Suami para perempuan pesisir harus melaut lebih jauh, sementara hasil tangkapan menurun.
“Hasil survei menyatakan bahwa 80 persen dari mereka bilang income-nya terdampak perubahan iklim, turun,” ujar Laely dalam diskusi media pada Selasa (29/10/2025).
Mayoritas perempuan bekerja di sektor perikanan. Sementara laki-laki berperan melaut, perempuan menjual hasil tangkapan segar atau memiliki usaha pengolahan ikan seperti ikan asin, terasi, maupun keripik.
Masalah muncul ketika hasil tangkapan berkurang akibat iklim. Usaha terasi, misalnya, terhambat ketika pasokan ikan menurun. Akhirnya, para perempuan pun harus beralih mata pencaharian.
Baca juga: Industri Karet di Kalbar Bertahan dari Krisis Iklim dan Kepungan Sawit
“Mereka harus pintar-pintar punya double job atau shifting pekerjaan gitu,” ungkap Laely. “Dengan perubahan iklim, mereka jadi kerja serabutan. Perubahan iklim mendorong shifting labor.”
Selain kehilangan pendapatan, perubahan iklim juga merusak tempat tinggal. “Tujuh puluh lima persen bilang rumahnya terdampak karena rob atau land subsidence. Delapan puluh delapan persen mengatakan rumahnya pernah kebanjiran,” ujar Laely.
Laely menuturkan, kesadaran perempuan pesisir yang tinggi terhadap perubahan iklim perlu diikuti dengan dukungan kebijakan dan pelatihan agar mereka mampu mengalihkan keterampilan serta usaha ke sektor yang lebih tahan terhadap perubahan lingkungan.
Menurutnya, inisiatif perempuan sudah terlihat, misalnya melalui kegiatan urban farming untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga maupun ikut menjaga ekosistem mangrove yang tersisa.
Salah satu yang diusulkan Laely adalah adanya Undang-Undang Perubahan Iklim. Ia menilai, regulasi yang ada selama ini belum memasukkan komponen perlindungan terhadap kelompok terdampak iklim, khususnya perempuan.
“Jepang punya UU Iklim yang fokus pada perlindungan aging population. Itu karena mereka sadar tantangan penduduk seniornya. Kita juga harus punya UU Iklim dengan fokus pada populasi rentan,” ungkapnya.
Baca juga: WWF Duet Bareng KLH, Tangani Isu Pencemaran dan Perubahan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya