BOGOR, KOMPAS.com - Direktur Tropenbos Indonesia, Edi Purwanto, mengungkapkan bahwa agroforestri intensif berpotensi masuk dalam pasar karbon untuk mengatasi emisi gas rumah kaca (GRK).
Agroforestri intensif tidak sekadar rehabilitasi lahan dan pemenuhan kebutuhan, tetapi juga berorientasi pada usaha komersial berkelanjutan.
"Kalau hutan suatu-saat habis, orang akan membudayakan antara pohon-pohonan dengan tanaman semusim sebagai sumber karbon, tanaman semusim sebagai sumber pangan. Jadi dengan demikian agroforestri intensif seperti harapan ke depan kita di luar hutan," ujar Edi di sela Focus Group Discussion (FGD) di Bogor, Jumat (31/10/2025).
Menurut dia, agroforestri intensif mengombinasikan tanaman tahunan dan tanaman pangan. Sistem ini dinilai dapat menjaga cadangan karbon sekaligus meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.
Baca juga: Perusahaan Bahan Bakar Fosil Tambah 2.300 Proyek Baru, Picu Krisis Karbon
Tropenbos Indonesia berencana mengembangkan proyek percontohan agroforestri intensif di Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara. Beberapa komoditasnya antara lain kratom dan karet di Kalimantan Barat, serta kakao di Sulawesi Tenggara.
Kendati demikian, inisiatif itu terhambat karena belum adanya pendanaan.
“Prosesnya sudah selesai kami ajukan, bahkan sampai ke Belanda, tapi belum mendapat pendanaan. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa terlaksana,” ucap Edi.
Edi turut menyoroti deforestasi menjadi penghambat utama dalam upaya memasukkan agroforestri ke pasar karbon. Selain itu, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pangan, dan Kementerian Lingkungan Hidup belum memilki regulasi agroforestri dalam perdagangan karbon.
"Tantangannya masih banyak sekali, nanti tergantung kebijakan Kementerian Kehutanan apakah membolehkan kita menjual karbon di tengah petani atau tidak. Itu masih memerlukan juga perubahan-perubahan kebijakan, karena itu sekarang ini kami menggelar FGD ini kami mengintegrasikan kebijakan," jelas dia.
Baca juga: Perusahaan Bahan Bakar Fosil Wajib Kembangkan Teknologi Penghilang Karbon
Harapannya, hasil FGD dapat mendorong pemerintah menyusun Peraturan Pemerintah terkait agroforestri intensif untuk perdagangan karbon.
Sebelumnya, Menteri LH, Hanif Faisol Nurofiq, menyampaikan pasar karbon termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional.
"Kami membuka selebar-lebarnya perdagangan pasar karbon sukarela. Pemerintah membuka peluang perdagangan karbon pada setiap sektor," ujar Hanif, Rabu (29/10/2025).
Dia menyampaikan, bursa karbon mulai bergeliat meskipum tak signifikan. Sejak IDX Carbon meluncurkan pada 2023 lalu, proyek ini tercatat menjual 1,6 juta ton CO2 dengan nilai transaksi Rp 78,5 miliar hingga pertengahan 2025.
"Di tengah kekayaan alam, keunggulan geografi kita, kami belum mampu menghadirkan perdagangan karbon dengan nilai yang layak. Rp 78,5 miliar ini angka yang tidak sebanding dengan upaya kita semua," tutur Hanif.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya