GUNUNG Arjuno, yang selama ini menjadi penyangga kehidupan di Jawa Timur, kini tengah menghadapi ujian baru. Di balik kabut pinus dan suara burung pagi, bayangan beton mulai naik perlahan di lereng-lerengnya. Rencana pembangunan kawasan real estate di Kaki Arjuno seolah menjadi simbol benturan klasik antara ambisi ekonomi dan kelangsungan ekologi.
Di satu sisi, pembangunan menjanjikan membawa kemajuan; Di sisi lain, warga yang hidup di kaki gunung justru dihantui kekhawatiran kehilangan tanah, udara, dan rasa aman. Spanduk “Tolak Perumahan di Lereng Arjuno” kini dipasang di jalan-jalan desa. Warga membentuk posko pengawasan, bahkan melaporkan ke DPRD dan instansi terkait.
Kekhawatiran mereka sederhana namun mendalam: tanah yang pijak mereka bukan hanya tempat tinggal, tapi juga sumber kehidupan. Jika hutan di lereng Arjuno digunduli untuk proyek properti, siapa yang akan menahan air saat musim hujan datang?
Data Badan Geologi menyebut kawasan Arjuno termasuk wilayah dengan potensi pergerakan tanah tinggi, terutama pada lereng curam di atas 30 derajat. Dalam catatan BNPB, beberapa titik di Kecamatan Prigen dan Lawang pernah mengalami longsor dan banjir bandang pada tahun 2023 akibat konversi hutan menjadi lahan terbuka. Artinya, ancaman yang menakutkan warga bukanlah fiksi, melainkan fakta geologis.
Baca juga: Warga Tolak Real Estate di Lereng Gunung Arjuno, DPRD Pasuruan Bentuk Pansus
Para peneliti dari Universitas Brawijaya dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyebutkan, hutan di kawasan Arjuno–Welirang berfungsi sebagai resapan air dan penyangga ekosistem di hulu sungai Brantas. Jika kawasan ini berubah menjadi organisasi padat, kemampuan tanah menyerap air akan menurun drastis. Dampaknya bukan hanya pada longsornya risiko, tapi juga kekeringan pada musim kemarau karena sumber air menipis.
Vegetasi ekologi di lereng Arjuno bekerja seperti spons raksasa yang menyerap air hujan dan mengalirkannya perlahan ke bawah. Namun, permukaan semen dan aspal akan mengubah fungsinya menjadi limpasan cepat. Di lereng yang curam, limpasan ini berubah menjadi aliran deras yang membawa tanah dan batu—bencana yang tinggal menunggu waktu.
Menurut teori hidrologi, pembukaan lahan alami sebesar 10% saja sudah bisa meningkatkan debit banjir hingga 50%. Maka, membangun kompleks perumahan di kawasan konservasi sama saja mempercepat kehancuran ekologi yang dampaknya dirasakan melintasi wilayah—dari hulu hingga hilir.
Baca juga: 3 Kelurahan di Prigen Pasuruan Tolak Real Estate, Pansus: Warga Tidak Boleh Masuk Angin
Di balik persoalan lingkungan, terdapat dimensi sosial yang tak kalah genting. Warga desa di sekitar Arjuno sebagian besar menggantungkan kehidupan dari pertanian, kopi, sayur, dan wisata alam. Pembangunan real estate berisiko menggusur lahan pertanian produktif, menaikkan harga tanah, dan mendorong marginalisasi sosial-ekonomi warga lokal.
“Dulu kami bisa menanam dan menjual hasil bumi ke wisatawan. Sekarang, tanah-tanah itu dijual ke investor, kami jadi penonton,” ujar seorang warga Dusun Cangar kepada media lokal. Pernyataan ini menggambarkan bagaimana proyek besar sering kali datang tanpa mekanisme partisipasi masyarakat. Mereka tak diajak bicara, hanya diberi kabar bahwa tanah di sekitar mereka akan berubah fungsinya.
Konsep keadilan lingkungan (environmental justice) menyoroti ketimpangan seperti ini: kelompok ekonomi menikmati keuntungan yang kuat dari pembangunan, sementara masyarakat miskin menanggung beban ekologis dan sosialnya. Dalam konteks Arjuno, “kemajuan” berubah menjadi ironi—di satu sisi perumahan mewah naik di lereng, di sisi lain warga kehilangan sumber air bersih dan rasa aman.
Permasalahan utama dalam proyek ini bukan sekedar tujuan membangun, melainkan proses dan izin yang diduga tidak transparan. DPRD Kabupaten Pasuruan telah membentuk panitia khusus (pansus) untuk meninjau dokumen kepemilikan lahan dan kelayakan izin lingkungan. Namun hingga kini, hasil investigasi belum diumumkan secara terbuka.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan juga menyoroti potensi pelanggaran tata ruang. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pasuruan, sebagian besar kawasan lereng Arjuno tergolong sebagai zona lindung dengan fungsi konservasi dan resapan. Jika izin real estate diterbitkan tanpa perubahan tata ruang resmi, maka secara hukum, pembangunan itu bisa termasuk cacat administrasi.
Ahli tata kota dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Agus Suryono, dalam wawancara dengan media menyebutkan bahwa pembangunan di kawasan lereng curam memerlukan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat dan melibatkan masyarakat. “Tanpa konsultasi publik dan audit ekologi independen, izin semacam itu bisa membahayakan nyawa dan kelangsungan hidup ruang hidup warga,” ujarnya.
Pembangunan real estate di Arjuno bukanlah kasus tunggal. Fenomena serupa terjadi di Puncak, Dieng, dan kawasan kaki Merapi. Di banyak tempat, janji “pengembangan ekonomi” dan “peningkatan wisata” sering berakhir pada degradasi ekologis dan ketimpangan sosial. Ironinya, keuntungan ekonomi jangka pendek sering dijadikan pembenaran atas kerusakan lingkungan jangka panjang. Padahal, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lebih dari 1,3 juta hektar hutan di Jawa telah beralih fungsi dalam dua dekade terakhir.
Di tengah krisis iklim dan defisit udara, mengorbankan kawasan konservasi seperti Arjuno demi proyek properti hanyalah memperparah ekologis ekologis Jawa Timur. Dalam pandangan sosiolog lingkungan, Dr. Pujo Santoso, praktik semacam ini disebut “ekstraktivisme baru” — bentuk penjarahan ruang ekologis dengan kemasan modern: bukan pertambangan atau industri berat, tetapi properti dan wisata. “Yang dijual bukan hanya tanah, tapi imajinasi tentang keindahan alam, sementara yang hilang adalah daya hidup masyarakat sekitar,” katanya.
Kini, warga masih mempertahankan posko dan menyuarakan ketidakpuasan. Beberapa kelompok pelajar dan pecinta alam ikut bergabung, sepanjang audit independen dan moratorium pembangunan. Tuntutan mereka yang sederhana: kembalikan Arjuno sebagai ruang hidup, bukan ruang komersial.
Pemerintah daerah perlu mengambil langkah tegas: menghentikan sementara seluruh kegiatan konstruksi sampai hasil kajian lingkungan selesai. Pemerintah pusat, lewat KLHK, juga harus memastikan tidak ada izin yang melewati batas kawasan lindung. Lebih dari itu, sudah saatnya paradigma pembangunan berubah—dari menjual alam menjadi menjaga alam.
Gunung Arjuno bukan sekedar lanskap; ia adalah jantung ekologis yang menyalurkan kehidupan bagi jutaan warga di hilir. Mengabaikan keseimbangan itu berarti merusak masa depan seluruh kawasan. Ketika lereng mulai runtuh, bukan hanya rumah warga yang hancur—tapi juga rasa keadilan dan tanggung jawab kita sebagai bangsa terhadap alam yang memberi kehidupan.
Baca juga: Warga 3 Kelurahan Pasuruan Tolak Pembangunan Real Estate di Lereng Gunung Arjuno
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya