KOMPAS.com - Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke, Papua, mencakup program cetak sawah, perkebunan tebu dan kelapa sawit, serta pembangunan industri bioetanol dan biodiesel, menuai kritik karena dinilai tidak melibatkan masyarakat adat dan berpotensi merusak lingkungan.
Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, masyarakat setempat tidak pernah diajak berkonsultasi atau diberi informasi memadai terkait proyek-proyek tersebut. Ia menilai pemerintah tidak menerapkan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) atau persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan.
"Mereka tahu itu setelah ratusan alat ekskavator mendatangi daerahnya. Jadi setelah gelombang ratusan alat ekskavator datang, itu kemudian disusul dengan kedatangan batalyon baru," ujar Franky dalam webinar, Kamis (9/10/2025).
Franky menjelaskan, pada Oktober 2024, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto membentuk lima batalion infanteri baru di Papua. Ia menilai batalion-batalion tersebut kini digunakan untuk mengamankan proyek PSN yang dikelola oleh korporasi.
Menurutnya, pelibatan TNI terjadi karena munculnya resistensi masyarakat akibat buruknya proses perolehan hak atas tanah. PSN di Merauke juga disebut menyasar wilayah pedalaman yang merupakan tanah adat masyarakat Malind Anim.
"Lokasi-lokasi yang menjadi proyek cetak sawah baru dan proyek perkebunan tebu adalah tanah-tanah wilayah adat yang dimiliki oleh masyarakat adat Malind Anim, yang sudah sejak lama tinggal di situ. Jadi, bisa dipastikan genocide (genosida) akan terjadi di tempat-tempat ini. Bukan hanya lewat proyek-proyek pembangunan, tapi kedatangan banyak orang ke situ dengan berbagai macam latar belakang budaya, sosial, dan ekonomi," tutur Franky.
Peneliti Senior Pusat Riset Kewilayahan BRIN, Cahyo Pamungkas, menambahkan bahwa PSN di Merauke dapat menimbulkan invasi sosio-ekologis, yaitu masuknya sistem produksi dan kekuasaan baru yang mengubah hubungan manusia dengan alam.
Baca juga: Ahli IPB Beberkan Alasan PSN di Pulau Rempang Harus Dievaluasi
Menurut Cahyo, invasi sosio-ekologis berdampak luas, mulai dari hilangnya keanekaragaman hayati, meningkatnya risiko kebakaran hutan dan erosi tanah, hingga terganggunya fungsi ekologis seperti penyerapan karbon dan daur air.
Selain itu, perubahan ini juga berpengaruh pada sektor pertanian dan perikanan serta menurunkan nilai budaya masyarakat adat yang bergantung pada ekosistem asli.
Cahyo menjelaskan, PSN memperkenalkan tanaman non-asli seperti tebu, jagung hibrida, dan kelapa sawit. Pergeseran dari hutan alami ke perkebunan menyebabkan perubahan siklus air dan nutrien serta membuka peluang bagi munculnya spesies invasif seperti alang-alang.
Ia juga menyoroti keterkaitan antara rusaknya hutan dan hilangnya bahasa lokal masyarakat adat Malind Anim.
"Kemarin saya tinggal selama satu bulan di Merauke. Bahasa yang hampir punah atau aspek budaya, bahasa Malind Anim di Kampung Basur. Ketika hutan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, tebu ataupun tanaman lain, orang Malind Anim menjadi cukup sulit untuk mengambil perlengkapan-perlengkapan yang akan menjadi bagian dari upacara adat. Oleh karena itu, kehancuran ekologis, perubahan dari keanekaragaman hayati menjadi homogen akan secara tidak langsung juga menggerus tradisi budaya, identitas, termasuk bahasa," ujar Cahyo.
Baca juga: Walhi: Wacana PSN di Merauke Picu Konflik dan Tak Hormati Masyarakat Adat
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya