JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol, menilai Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta belum serius dalam menangani persoalan sampah. Buktinya, kata dia, total 8.000 ton sampah dari Jakarta masuk ke TPST Bantargebang, Bekasi, per harinya.
Pembuangan sampah terbuka ini lantas menimbulkan mikroplastik dan masalah lingkungan lainnya.
"Kalau saya pakai asas Undang-Undang 32 Tahun 2009, maka pemerintah daerah wajib melakukan langkah pemulihan yang tidak murah. Bantargebang telah mencemari lingkungan kita cukup sangat besar, air tanah dangkal dalam radius 500 meter kami pastikan sudah tercemar," ujar Hanif dalam A Multi-Stakeholder Dialogue: Plastic, Climate and Biodiversity Nexus Forum di Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).
Baca juga: Ancaman Abadi Sampah Plastik, Bertahan di Permukaan Laut Lebih dari 100 Tahun
Dia turut menyinggung permasalahan sampah di Jakarta Utara yang tak kunjung usai. Dengan timbulan sampah mencapai 1.400 ton per harinya, Pemprov DKI dianggap belum bisa menangani hal tersebut.
"Sementara di sisi lain, kita memiliki industri, pabrik, atau fasilitas Refuse Derived Fuel dengan kapasitas 2.500 ton per hari. Tetapi sampai hari ini, kami belum bisa operasionalkan RDF Rorotan," tutur dia.
Adapun proyek RDF Rorotan sempat ditolak warga lantaran menimbulkan bau menyengat. Hanif menyebutkan bahwa Jakarta Utara menjadi barometer percontohan pengelolaan sampah.
Apabila berhasil, maka bukan tidak mungkin pemda bisa mengikuti langkah serupa pada wilayah lain.
"Kami ingin fokus, enggak usah Bapak ngomong lebar-lebar (cakupannya) di Indonesia, kerjakanlah selesaikanlah satu kecamatan saja di Jakarta Utara. Enggak usah muluk-muluk, bisa menghasilkan satu kecamatan itu sudah mereduksi sampah mungkin sampai 400 ton per day," ucap Hanif.
Dalam kesempatan itu, Hanif menyoroti permasalahan sampah nasional. Di Kabupaten Tangerang dan Bogor, misalnya, masuk daftar wilayah paling kotor pada penilaian Adipura. Baru ada dua daerah yang memenuhi kriteria Adipura.
Baca juga: DKI Gadang Sunter Jadi Lokasi Waste to Energy, Kelola 2.200 Ton Sampah
"Alhamdulillah sampai hari ini kita belum punya kabupaten kota yang selesai sampahnya. Menterinya belum becus untuk menangani sampah nasional, kami telah memberikan sanksi administrasi dan seterusnya tetapi ini (permasalahan sampah) belum (selesai) sampai hari ini," imbuh dia.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Waste to Energy atau pengelolaan sampah menjadi sumber energi (PSEL). Namun, ia berpandangan teknologi ini bukan solusi yang ampuh dalam penyelasaian sampah.
Nilai investasinya pun fantastis, satu instalasi PSEL yang mengelola 1.000 ton sampah per hari membutuhkan dana hampir Rp 3 triliun. Dengan asumsi pembangunan di 21 wilayah aglomerasi, maka pemerintah membutuhkan Rp 63 triliun pada proyek WtE.
Penanganan sampah di sektor industri juga masih belum optimal. Sebab, kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) atau tanggung jawab produsen terhadap sampah masih bersifat sukarela.
"EPR kita masih bersikap sukarela akhirnya sampah plastik kita tidak tertangani sama sekali. Hampir 17-20 persen sampah nasional adalah sampah plastik yang tidak bisa terurai, yang akhirnya kalau dibakar menimbulkan problem dioksin dan furan, kalau kita biarkan menimbulkan problem mikroplastik," ungkap Hanif.
Baca juga: IESR Perkirakan Ada Perbaikan di Second NDC, Tapi Tetap Tak Jawab Target Perjanjian Paris
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya