JAKARTA, KOMPAS.com - Reaksi alergi pada anak bisa beragam, tapi dikelompokkan menjadi dua kategori yang harus diketahui orangtua.
Dokter Spesialis Anak dr. Rizky Amrullah Nasution, Sp.A menjelaskan, penting bagi orangtua untuk membedakan antara reaksi alergi ringan dan reaksi alergi berat agar penanganannya tepat.
“Reaksi alergi dibagi menjadi dua kategori yaitu berat dan ringan. Reaksi alergi ringan gejala umumnya lebih ke ruam merah, bentol-bentol di kulit, dan area mata yang membengkak,” ujar dr. Rizky dalam Health Talk Pediatric Emergency di Brawijaya Hospital Taman Mini, Jakarta Timur, Selasa (28/10/2025).
Menurut dr. Rizky, reaksi alergi pada anak yang ringan biasanya muncul di permukaan kulit. Gejalanya bisa berupa ruam merah, bentol, atau pembengkakkan ringan di sekitar mata.
Kondisi ini umumnya membuat anak merasa tidak nyaman karena rasa gatal, tapi jarang menimbulkan gangguan serius pada sistem pernapasan atau sirkulasi tubuh.
“Kondisi alergi ringan masih bisa diobati dengan minum obat alergi,” jelas dr. Rizky.
Orangtua dapat memberikan obat antihistamin sesuai anjuran dokter untuk membantu meredakan reaksi tersebut.
Selain itu, penting juga menghindari faktor pemicu alergi yang sudah diketahui, misalnya jenis makanan tertentu seperti udang, telur, kacang, atau susu sapi.
Pada tahap ini, pengawasan di rumah masih bisa dilakukan, tapi tetap perlu perhatian ekstra agar reaksi tidak berkembang menjadi lebih parah.
Jika gejala tak kunjung membaik setelah minum obat atau area bengkak makin luas, segera konsultasikan ke dokter.
Berbeda dengan reaksi alergi ringan, reaksi alergi berat atau anafilaksis merupakan kondisi gawat darurat medis yang bisa mengancam nyawa anak.
“Sementara itu, reaksi alergi berat umumnya disebut anafilaksis. Kondisi ini biasanya ditandai dengan alergi yang sampai membuat anak tidak bisa bernapas, karena terjadi pembengkakan,” jelas dr. Rizky.
Pembengkakan yang terjadi pada saluran napas membuat udara sulit masuk ke paru-paru.
Akibatnya, anak bisa mengalami sesak napas berat, pembengkakan di wajah, lidah, dan tenggorokan, serta bunyi napas yang berbunyi "ngik".
“Alhasil udara susah masuk ke dalam tubuh anak, kemudian dia menjadi sesak, wajahnya menjadi bengkak. Pada beberapa kasus bunyi napasnya pun berbunyi ‘ngik’,” katanya.
Kondisi ini perlu segera ditangani dengan cepat karena dapat menyebabkan henti napas dan henti jantung hanya dalam waktu beberapa menit.
“Kalau kondisi sudah separah itu maka harus segera ke IGD karena jika anak tidak bernapas dalam waktu dua sampai tiga menit, maka sudah henti jantung,” tegas dr. Rizky.
Reaksi alergi bisa muncul akibat berbagai pemicu, seperti makanan, obat-obatan, gigitan serangga, dan paparan lingkungan tertentu.
Oleh karena itu, orangtua sebaiknya mencatat dan mengenali pemicu spesifik yang sering menimbulkan reaksi alergi pada anak.
Tanda awal seperti gatal ringan atau bengkak di bibir sebaiknya jangan diabaikan. Bila gejala semakin berat, misalnya disertai sesak, suara serak, atau kehilangan kesadaran, segera cari pertolongan medis.
Dokter juga dapat membantu dengan memberikan rencana penanganan alergi (allergy action plan), terutama bagi anak yang memiliki riwayat anafilaksis.
Dalam beberapa kasus, dokter mungkin akan meresepkan epinefrin autoinjector (EpiPen) yang bisa digunakan untuk keadaan darurat.
Pencegahan tetap jadi kunci alergi pada anak
Meski reaksi alergi bisa muncul tiba-tiba, langkah pencegahan tetap menjadi hal yang penting.
Orangtua bisa mulai dengan memperkenalkan makanan baru satu per satu untuk memantau kemungkinan alergi, serta menghindari paparan zat yang diketahui menjadi pemicunya.
Selain itu, pastikan lingkungan rumah bebas dari debu, tungau, atau bulu hewan yang bisa memperburuk reaksi alergi pada anak dengan kulit sensitif.
“Mengenali alergi anak sejak kecil sangat penting agar bisa diantisipasi lebih awal,” tambah dr. Rizky.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/10/30/133500120/beda-reaksi-alergi-ringan-dan-berat-pada-anak-menurut-dokter-orangtua