KOMPAS.com – Sneakers sudah lama digandrungi para pecinta fashion, terutama di kalangan anak muda.
Tak sekadar alas kaki, sneakers juga dipandang sebagai simbol identitas, status, hingga cara mengekspresikan diri.
Namun seiring populernya sneakers, terutama yang bermerek global, muncul pula sneakers palsu atau KW di pasaran.
Ironisnya, produk tiruan ini bahkan bisa ditemukan di pusat perbelanjaan yang mengklaim bebas dari barang bajakan.
Pertanyaannya, apakah memakai sneakers palsu benar-benar sepadan dengan risiko dan dampaknya?
Baca juga: Marak Sneakers Palsu di Pasaran, Jejouw Bagikan 5 Cara Membedakan Sneakers Ori dan KW
Menurut sosiolog, maraknya sneakers KW menunjukkan kebutuhan masyarakat akan fesyen terjangkau, meski berbenturan dengan aturan HKI global.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, DR. Devie Rahmawati, M.Hum., CICS., mengatakan ada sejumlah studi global yang menyebut barang palsu menyumbang sekitar 3,3 persen perdagangan dunia dengan nilai tembus triliunan dolar AS.
"Jaringannya rapi, bisa menyusup ke jalur distribusi resmi. Sertifikasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di mal sering berhenti jadi stiker di pintu, bukan sistem yang diawasi terus-menerus," ujar Devie kepada Kompas.com, baru-baru ini.
Devie menyebut, di Indonesia sendiri, kerugian akibat peredaran barang palsu diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah per tahun.
Menurut Devie, daya tarik sneakers palsu tak lepas dari sejumlah faktor, seperti:
Namun, Devie menegaskan, faktor-faktor tersebut tidak bisa menutupi berbagai risiko besar yang muncul akibat normalisasi barang palsu.
Baca juga: Sneakers KW Sedang Marak, Masyarakat Diminta Lebih Cermat Saat Belanja
Memilih sneakers palsu mungkin terlihat menguntungkan, tetapi ada dampak serius yang perlu diperhatikan:
Tidak ada jaminan standar bahan dan proses produksi.
Lem, pewarna, atau material tidak bisa dipastikan apakah berbahaya bagi kulit dan kesehatan kaki, atau tidak.
Inovasi dan karya orisinal, termasuk dari brand lokal, tertekan karena mudah ditiru tanpa perlindungan.
Potensi pajak hilang, lapangan kerja legal tersisih, dan rantai pemalsuan kerap terkait kejahatan terorganisasi.