
Menumpuk stres bisa menjadi kebiasaan yang bikin gemuk dengan menyebabkan peningkatan kadar kortisol secara kronis, sehingga menyebabkan masalah tidur dan kekebalan tubuh, kelainan gula darah, hingga penambahan berat badan.Namun, itulah kenyataan yang sedang dihadapi jutaan anak muda kita hari ini.
Generasi Z, yang seharusnya menjadi tumpuan masa depan bangsa, justru banyak yang bertarung dalam senyap melawan luka batin yang tak tampak.
Jika dibiarkan tanpa kepedulian, rapuhnya kesehatan mental mereka akan menggerogoti Indonesia Emas yang kita dambakan.
Dari perkembangan data yang ada sampai hari ini, kesehatan mental generasi Z memang layak mendapat perhatian banyak pihak, baik orangtua, institusi pendidikan, institusi kesehatan, perusahaan, maupun pemerintah secara umum.
Laporan WHO tahun 2023 memperlihatkan bahwa sekitar satu dari tujuh remaja berusia 10–19 tahun hidup dengan gangguan mental, terutama depresi dan kecemasan sebagai masalah yang paling dominan.
Angka ini sejatinya cukup menakutkan kita semua, terutama saya sebagai sosiolog sekaligus orangtua. Pasalnya, dari data tersebut juga dikatakan bahwa bunuh diri tercatat sebagai penyebab kematian terbesar keempat pada kelompok usia 15–29 tahun.
Artinya, data tersebut menegaskan kepada kita semua, baik sebagai orangtua, sebagai pendidik, sebagai pekerja di sektor kesehatan, maupun sebagai penyedia kerja di perusahaan bahwa isu mental bukan lagi masalah sepele, tapi sudah menjadi persoalan global yang bisa sangat berpengaruh kepada masa depan bangsa, bahkan peradaban.
Baca juga: Teater Jalanan di Sumut: Berebut Pajak Kendaraan Bermotor
Di Indonesia, potret serupa juga tidak jauh berbeda. Data Riskesdas 2018, survei nasional yang dilakukan secara berkala oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI (sekarang di bawah Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan), menunjukkan 6,1 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional.
Sementara itu, survei Kemenkes 2022 menunjukkan peningkatan signifikan dalam kasus depresi dan kecemasan, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa.
Lebih lanjut, survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2021 mengungkap hampir satu dari tiga anak muda Indonesia mengalami stres berat terkait urusan akademik, urusan tekanan sosial, dan urusan identitas.
Dengan kata lain, secara hipotetis bisa disimpulkan bahwa saat ini jutaan anak muda Indonesia sedang “berjuang dalam diam” melawan pergulatan batin yang tak kasat mata di dalam ruang hidup yang semakin tidak pasti.
Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, memang menjadi kelompok paling rentan.
Bukan saja karena jumlahnya lebih dari 26 persen populasi Indonesia alias generasi mayoritas, tapi juga karena generasi ini sedang berada pada tahap krusial, yakni tahap menapaki usia produktif.
Sebagian besar sudah memasuki dunia kerja, membangun relasi, mencari jati diri, dan sekaligus memikirkan masa depan.
Namun, dari sisi latar belakang, generasi Z juga dibesarkan dalam pusaran krisis global yang tak ada habisnya.
Dunia yang mereka kenal sejak kecil adalah dunia yang penuh ketidakpastian, dari krisis moneter Asia, ancaman terorisme global yang juga sempat melanda Indonesia berkali-kali, krisis finansial global 2008, dampak perubahan iklim, konflik geopolitik, hingga pandemi Covid-19 yang sempat melumpuhkan kehidupan sosial global dan nasional.
Sehingga tidak berlebihan jika Gen Z disebut sebagai “generasi krisis”.
Karena hingga hari ini, generasi Z nyaris tidak pernah benar-benar menikmati era stabil yang menyisakan ruang untuk hadirnya rasa aman secara kolektif.
Baca juga: Ketika Kuasa Tak Lagi Butuh Nilai