KEPUTUSAN Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan menjadi 5 persen pada Agustus 2025, menandai babak baru kebijakan moneter nasional.
Setelah periode panjang kehati-hatian, langkah ini memunculkan harapan besar bagi pemulihan ekonomi, khususnya sektor riil yang selama ini merasakan tekanan dari biaya pendanaan tinggi dan lemahnya permintaan domestik.
Namun, pertanyaan mendasar muncul: apakah penurunan suku bunga ini akan benar-benar menetes ke bawah sebagai stimulan nyata, atau hanya berhenti di level kebijakan?
Pada titik ini, kita melihat paradoks. Di satu sisi, fundamental makro Indonesia cukup kokoh—inflasi terjaga di 2,37 persen, rupiah relatif stabil di kisaran Rp 16.300–Rp 16.700 per dollar AS, cadangan devisa melimpah, dan perbankan memiliki CAR di atas 25 persen.
Semua ini memberikan ruang bagi kebijakan moneter yang lebih longgar.
Baca juga: Menyambut Pertumbuhan: Makna Penurunan BI Rate ke 5 Persen
Namun di sisi lain, transmisi ke kredit perbankan masih lambat, bunga pinjaman UMKM maupun korporasi belum turun signifikan, sehingga efek positif bagi sektor riil belum optimal.
Turunnya BI Rate menjadi 5 persen menciptakan peluang historis untuk mengakselerasi sektor riil. Industri padat modal seperti properti, otomotif, dan manufaktur akan menjadi penerima manfaat langsung apabila bunga kredit investasi dan konsumsi ikut menurun.
Dengan kredit properti yang lebih murah, backlog perumahan dapat terpangkas, sementara insentif bagi otomotif dapat menggairahkan daya beli masyarakat kelas menengah.
Bagi UMKM, ruang pembiayaan lebih longgar akan mempercepat ekspansi usaha. Selama ini, bunga kredit UMKM masih bertengger di dua digit, menggerus margin keuntungan.
Penurunan 100–150 basis poin saja bisa membuka akses bagi jutaan pelaku usaha kecil untuk meningkatkan kapasitas produksi.
Dampaknya akan multiplikatif: penyerapan tenaga kerja bertambah, pendapatan rumah tangga meningkat, dan konsumsi domestik menguat.
Di sektor investasi asing, bunga acuan yang lebih rendah akan menurunkan biaya pendanaan proyek, meningkatkan daya tarik investasi, dan mendorong penciptaan lapangan kerja.
Hal ini semakin relevan ketika Indonesia sedang mengeksekusi proyek-proyek strategis nasional, dari hilirisasi mineral hingga transisi energi. Dengan dana murah, proyek-proyek tersebut lebih feasible secara finansial.
Meski peluang besar terbuka, efektivitas pemangkasan suku bunga bergantung pada kecepatan transmisi ke sektor keuangan.
Data terbaru menunjukkan bunga deposito sudah turun tipis ke 4,75 persen, tetapi bunga kredit baru merespons terbatas: kredit korporasi hanya turun 27 bps, kredit komersial 9 bps, dan kredit UMKM 15 bps. Bahkan, bank swasta nasional relatif lamban dibanding bank BUMN dan BPD.
Baca juga: Bom Waktu Pati dan Wacana Penghapusan Pajak Bumi-Bangunan