SETIAP Maret dan September, ada ritme yang tak pernah berubah dalam hidup saya dan ribuan rekan saya di Badan Pusat Statistik (BPS).
Kami melepas ribuan petugas lapangan yang disebut mitra statistic untuk mengetuk pintu ratusan ribu rumah di seluruh pelosok negeri. Dari gang-gang sempit di Jakarta hingga dusun terpencil di pedalaman Papua.
Kegiatan raksasa ini bernama Survei Sosial Ekonomi Nasional, atau yang lebih akrab kami sapa, Susenas.
Saya sudah hampir dua dekade mengabdi di BPS. Usia saya kini 42 tahun, cukup untuk merasakan asam garam transisi dari era kuesioner kertas yang tebalnya bisa menyaingi skripsi, hingga kini petugas kami berbekal gawai canggih.
Namun, ada satu hal yang tampaknya tak banyak berubah: keraguan publik terhadap data yang kami hasilkan.
"Pak, kok angka kemiskinan bisa turun, padahal di lapangan rasanya makin susah?" atau "Kenapa data BPS beda dengan data Bank Dunia?"
Pertanyaan-pertanyaan ini wajar, dan jujur saja, kami di BPS menyambutnya. Itu tandanya masyarakat peduli.
Baca juga: Kemiskinan Karakter di Tengah Agenda Kesejahteraan Sosial
Izinkan saya, dari sudut pandang orang dalam yang setiap hari bergelut dengan angka-angka ini, mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di "dapur" kami.
Pertama, mari kita pahami dulu "makhluk" bernama Susenas ini. Susenas adalah fondasi dari hampir semua data sosial ekonomi di Indonesia.
Kami di BPS sering menyebutnya sebagai "Ibu dari Semua Survei". Kegiatan ini sudah berjalan tanpa putus sejak tahun 1963, jauh sebelum banyak dari kita lahir.
Bayangkan skala pekerjaannya. Setiap periode survei, kami mendata sekitar 345.000 rumah tangga sampel.
Angka ini bukan angka sembarangan. Sampel ini dipilih melalui metode statistik yang sangat ketat untuk memastikan setiap rumah tangga yang terpilih bisa mewakili ribuan rumah tangga lain dengan karakteristik serupa di sekitarnya.
Tujuannya agar potret yang dihasilkan bisa menggambarkan kondisi sampai tingkat kabupaten/kota.
Kami tidak mungkin mendatangi 90 juta lebih rumah tangga di Indonesia. Itu namanya sensus, dan biayanya luar biasa besar. Survei adalah jalan tengah yang paling masuk akal secara ilmiah dan anggaran.
Di lapangan, petugas kami tidak hanya menanyakan "berapa pendapatanmu?". Pertanyaannya jauh lebih rinci, mencakup pendidikan anak, kondisi kesehatan, fasilitas rumah, hingga yang paling krusial: pengeluaran rumah tangga.
Untuk data pengeluaran saja, petugas bisa menghabiskan waktu berjam-jam menanyakan lebih dari 200 jenis komoditas makanan dan puluhan jenis pengeluaran non-makanan.
Dulu, semua ini dicatat di atas kertas. Bayangkan tumpukan dokumennya. Kini, kami beralih ke Computer-Assisted Personal Interviewing (CAPI).
Baca juga: Krisis “Legitimasi” Demokrasi dan Ketimpangan Ekonomi
Petugas kami menggunakan gawai yang aplikasinya sudah dirancang untuk meminimalkan kesalahan.
Jika ada isian aneh, misalnya anak usia 5 tahun diisi tamat S1, sistem akan otomatis memberi peringatan. Ini adalah salah satu lompatan besar kami dalam menjaga kualitas data.
Sekarang, mari kita masuk ke isu yang paling sensitif: kemiskinan. Angka kemiskinan BPS sering dianggap terlalu rendah.
Metode yang kami gunakan sejak 1984 adalah Pendekatan Kebutuhan Dasar (Basic Needs Approach).
Sederhananya, seseorang atau sebuah rumah tangga dianggap miskin jika pengeluarannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum, baik makanan maupun non-makanan. Batas kecukupan inilah yang disebut Garis Kemiskinan (GK).
GK ini bukan angka "wangsit". Ia dihitung secara teliti dari data Susenas, dan terdiri dari dua komponen:
Pertama, Garis Kemiskinan Makanan (GKM). Ini adalah nilai rupiah yang dibutuhkan untuk memenuhi standar energi 2.100 kilokalori per orang per hari.
Angka 2.100 kkal ini bukan karangan BPS, melainkan standar kecukupan energi yang direkomendasikan oleh FAO dan WHO untuk negara berkembang.
Untuk menghitungnya, kami melihat pola konsumsi masyarakat dan memilih 52 jenis komoditas makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi. Jadi, isinya bukan hanya beras, tapi juga telur, tempe, ikan, sayuran, dan lainnya.
Kedua, Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Ini adalah nilai dari kebutuhan pokok selain makanan, seperti biaya sewa rumah sederhana, listrik, pakaian, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditasnya juga dipilih dari pola pengeluaran riil masyarakat.
Baca juga: Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
Jadi, ketika kami merilis bahwa Garis Kemiskinan adalah sekian ratus ribu rupiah per kapita per bulan, angka itu adalah hasil penjumlahan GKM dan GKNM yang dihitung dari data lapangan yang sangat detail.
Lalu, mengapa angka kita beda jauh dengan Bank Dunia? Jawabannya sederhana: kami menggunakan "mistar" yang berbeda.
BPS mengukur kemiskinan berdasarkan standar kebutuhan dasar nasional. Sementara Bank Dunia menggunakan standar paritas daya beli (PPP) sebesar 6,85 dollar AS per hari untuk negara berpendapatan menengah-atas seperti Indonesia, tujuannya agar bisa membandingkan kondisi antarnegara.
Keduanya tidak salah, hanya tujuannya berbeda. Mengukur kemiskinan dengan standar nasional penting untuk perencanaan program dan alokasi anggaran domestik yang tepat sasaran.
Satu hal yang sering dilupakan publik adalah Susenas bukan hanya untuk menghitung kemiskinan. Data dari survei raksasa ini menjadi bahan baku untuk puluhan indikator penting lainnya:
Tanpa Susenas, pemerintah akan seperti pilot yang terbang tanpa panel instrumen. Kebijakan yang dibuat akan berdasarkan asumsi, bukan fakta.
Tentu, tidak ada survei yang sempurna. Kami sangat sadar akan adanya potensi kesalahan, seperti responden yang lupa pengeluarannya (recall bias) atau petugas yang kurang teliti.
Karena itulah, proses pelatihan petugas, pengawasan berjenjang, dan validasi data kami lakukan dengan sangat serius.
Tugas kami di BPS adalah menyajikan cermin bagi bangsa ini, sejelas dan sejujur mungkin. Terkadang, pantulan di cermin itu tidak selalu indah atau sesuai dengan yang kita harapkan.
Namun, saya percaya, hanya dengan cermin yang jernihlah kita bisa berbenah dan melangkah maju. Kepercayaan Anda adalah bahan bakar bagi kami untuk terus menjaga kejernihan cermin itu.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini