Salin Artikel

Istri Munir: Penulisan Ulang Sejarah Hanya Kebohongan, Terutama Kasus Pelanggaran HAM Berat

“Bukan hanya kekhawatiran ya, ini soal di mana kita melihat rekam jejak di mana rezim ini silih berganti, yang ditulis selalu kebohongan,” kata Suciwati, di Jakarta, Jumat (15/8/2025).

Menurut dia, janji pemerintah yang tidak kunjung direalisasikan semakin memperkuat anggapan bahwa kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus pembunuhan Munir, tidak pernah ditangani secara serius.

“Jadi, mereka tidak malu-malu membuat pernyataan dan tidak juga kemudian direalisasi,” ujar dia.

“Terutama dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Bahkan, terhadap kasus Munir sudah berapa kali presiden berjanji, kan?” tambah dia.

Suciwati menilai, penulisan sejarah seharusnya dilakukan oleh pihak yang berkompeten dan independen, bukan oleh penguasa.

“Sejarah itu tidak boleh ditulis oleh penguasa, karena sejarah itu seharusnya ditulis oleh orang-orang yang memang kompeten, apakah itu sejarawan atau orang-orang yang selama ini biasa berbicara dan kemudian dinarasikan, ditulislah atau apa dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” ucap dia.

Ia menyebut, saat ini, para korban mulai menuliskan kisah mereka sendiri sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya "cuci bersih" sejarah.

“Kita kan sudah mulai juga menuliskan, teman-teman korban untuk mulai juga menulis kisah mereka dan sebagainya,” ujar dia.

Menurut dia, penulisan ulang sejarah merupakan upaya mencuci bersih kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan memberikan narasi yang positif terhadap rezim saat ini.

“Di situ juga tidak dituliskan seperti yang selama ini dilakukan oleh mereka (rezim), mengingkari korban. Bahwa, kejahatan kemanusiaan itu tidak ada,” ungkap dia.

Ia menekankan, rakyat harus mengambil peran dalam menuliskan sejarah, agar suara korban pelanggaran HAM tidak diabaikan.

“Jadi, sejarah ini buat saya harus memang rakyat yang harus menuliskan, masyarakat yang harus terus menuliskan. Dan memang ada pendidikan yang biasanya akan dipakai,” ujar dia.

Upaya itu, menurut dia, kini dilakukan dengan masuk ke ruang-ruang sekolah bersama para guru sejarah untuk menyebarkan kisah para korban pelanggaran HAM.

“Makanya kita kan masuk ruang-ruang sekolah juga untuk menyebarkan cerita-cerita tentang korban dan sebagainya,” ujar dia.

“Banyak kerja sama dengan guru sejarah dan sebagainya itu bagian dari kita masuk ruang-ruang itu. Agar korban pelanggaran HAM itu tidak diabaikan, tidak dianggap, tidak ada cerita,” tutur Suciwati.

Namun, ia juga mewanti-wanti bahwa ruang-ruang kebebasan itu bisa ditutup sewaktu-waktu oleh kekuasaan.

“Jadi, makanya kita berusaha masuk ke sana dan hari ini kita bisa pakai ruang apa pun. Meskipun kita tunggu waktu juga ketika mereka kemudian berkuasa lebih semena-mena, itu bisa ditutup. Dan sebagainya kan ruang-ruang itu,” kata dia.

Ia pun mengingatkan agar masyarakat tetap waspada terhadap sistem yang menurutnya dibangun untuk menekan kritik.

“Medsos atau apa, hati-hati saja, be aware saja, ini satu langkah. Diam, kita tidak melawan. Mereka naikin lagi (tekanannya), naikin lagi, gitu terus. Ya itu bagian dari sistem yang mereka bangun,” pungkas Suciwati.

https://nasional.kompas.com/read/2025/08/15/18094151/istri-munir-penulisan-ulang-sejarah-hanya-kebohongan-terutama-kasus

Bagikan artikel ini melalui
Oke