BAYANGKAN sebuah panggung sandiwara nasional. Di satu sisi, para koruptor berjas rapi tersenyum lebar, bebas berkeliaran, sementara aset hasil jarahan mereka terhadap uang rakyat masih tegak berdiri, tidak tersentuh.
Di sisi lain, rakyat jelata yang menonton sandiwara ini setiap hari, geram dan lapar akan keadilan.
Lalu, ketika seorang penonton akhirnya naik ke panggung dan merusak properti, seluruh penonton lain serentak dituding sebagai biadab.
Inilah potret absurd negeri ini dalam menangani kejahatan ekonomi, yang membuat kita lupa bertanya: siapa sebenarnya yang memulai babak pertama penjarahan?
Fenomena penjarahan massal terhadap properti elite bukanlah ledakan spontan yang berdiri sendiri. Ia adalah puncak gunung es dari frustrasi kolektif yang telah membeku oleh tiadanya saluran hukum yang efektif; anak kandung dari anomi hukum— keadaan di mana norma keadilan dianggap tak lagi relevan atau mampu ditegakkan.
Konsep anomi yang diperkenalkan sosiolog Émile Durkheim menggambarkan keadaan tanpa norma (normlessness), di mana aturan main sosial bubar dan menciptakan kekosongan moral.
Baca juga: Gatal Kolektif yang Tak Diobati dengan Akal
Dalam konteks Indonesia, anomi ini terwujud dalam mandeknya instrumen hukum paling progresif untuk memulihkan keadilan: RUU Perampasan Aset.
RUU yang didukung presiden sekalipun itu, kini terkatung-katung di laut legislatif yang tak bertepi, fakta yang dicatat oleh berbagai media.
Kondisi ini tercermin dalam data global. World Justice Project (2024) menempatkan Indonesia pada peringkat 66 dari 142 negara dalam Indeks Negara Hukum, dengan skor rendah pada indikator "Absence of Corruption".
Hal ini selaras dengan data Transparency International (2023) yang menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di skor 34 dari 100, peringkat 110 dari 180 negara.
Stagnansi ini adalah cermin: perang melawan korupsi tidak maju, tetapi justru berjalan di tempat.
Frustrasi publik semakin menjadi-jadi ketika melihat betapa kecilnya aset korupsi yang berhasil dikembalikan.
Walaupun KPK mencatat kerugian negara akibat korupsi pada 2023 mencapai Rp 2,93 triliun, data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat pengembalian aset (asset recovery rate) jarang melampaui 20 persen dari total kerugian negara.
Inilah yang disebut frustrasi agregat (aggregate frustration). Teori Deprivasi Relatif dari Leon Festinger menjelaskan, kemarahan publik memuncak ketika melihat kelompok lain (elite koruptor) menikmati hasil rampasan, sementara mereka sendiri terhambat oleh sistem.
Lebih jauh, teori Keadilan Prosedural (Tyler & Lind) menegaskan bahwa legitimasi hukum tidak hanya bergantung pada hasil akhir, tetapi pada persepsi bahwa prosesnya adil.