Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Eng. IB Ilham Malik
Dosen

Akademisi Institut Teknologi Sumatera (ITERA). Penggiat di Masyarakat Transportasi Indonesia (sejak 2006), penggiat di Forum Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi/FSTPT (sejak 2015), anggota World Society for Transport and Land Use Researcher (sejak 2016), dan penggiat di Intelligent Transportation System/ITS, Indonesia yang merupakan bagian dari ITS Asia Pacific (sejak 2022).

RUU Sistem Transportasi Nasional: Penataan Ulang Peran UU Sektoral

Kompas.com - 06/09/2025, 12:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETIKA mendiskusikan Rancangan Undang-undang Sistem Transportasi Nasional (RUU Sistranas), pikiran saya langsung melayang pada pertanyaan mendasar: apakah ini akan menjadi game changer bagi masa depan transportasi Indonesia, atau sekadar menambah satu lapis regulasi tanpa daya dorong nyata?

Sebagai negara kepulauan besar dengan penduduk lebih dari 270 juta jiwa, kita membutuhkan transportasi yang tidak hanya menghubungkan titik A ke titik B, tetapi juga menyatukan ekonomi, budaya, dan pertahanan negara.

Selama ini, pengaturan transportasi berjalan dengan payung hukum sektoral: UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (beserta perubahan UU Nomor 2 Tahun 2022), UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Semua undang-undang ini punya kedalaman pengaturan teknis di sektornya masing-masing, tetapi sering kali bekerja dalam “ruang sendiri” tanpa orkestrasi terpadu.

Di lapangan, dampaknya jelas terasa. Pembangunan jalan nasional belum tentu sinkron dengan rencana jalur kereta api.

Pembangunan pelabuhan sering tidak terintegrasi dengan bandara atau jaringan logistik darat. Sistem tiket terpadu lintas moda masih jauh dari kata optimal.

Tanpa koordinasi yang kuat di tingkat sistem, kita kehilangan peluang efisiensi dan daya saing.

RUU Sistranas berpotensi menjadi payung besar yang menyatukan semua moda transportasi ke dalam satu kerangka kebijakan, perencanaan, dan operasional.

Dari perspektif kebijakan publik, ini berarti membangun national transport masterplan yang bukan hanya kumpulan rencana sektoral, tetapi sistem yang memastikan: Integrasi fisik — pelabuhan terhubung dengan jalan tol dan jalur KA logistik; bandara terhubung dengan angkutan umum massal; terminal antarmoda menjadi simpul yang nyaman.

Integrasi manajemen — kebijakan tarif, pengaturan jadwal, standar pelayanan minimal (SPM) yang konsisten antarmoda.

Terakhir, Integrasi teknologi — dari sistem informasi lalu lintas, e-ticketing lintas moda, hingga traffic management center yang memantau semua pergerakan orang dan barang di darat, laut, dan udara.

Sistranas dapat menjadi semacam “konstitusi transportasi” yang memayungi dan mengarahkan semua UU sektoral.

Artinya, UU Jalan, UU KA, UU Pelayaran, UU Penerbangan, dan UU LLAJ tidak lagi berdiri sendiri, tetapi menjadi “anak cabang” yang harus selaras dengan visi dan misi transportasi nasional.

Jika RUU ini disahkan, maka UU sektoral akan berada pada posisi lex specialis dalam lingkup moda masing-masing, tetapi harus tunduk pada prinsip, norma, dan arah kebijakan yang ditetapkan Sistranas.

Misalnya: UU Jalan akan tetap mengatur konstruksi, pengelolaan, dan pengusahaan jalan umum, jalan tol, atau jalan khusus.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau