Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pro-Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Kompas.com - 24/10/2025, 06:50 WIB
Singgih Wiryono,
Danu Damarjati

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Meski pro dan kontra mengemuka, Kementerian Sosial RI resmi turut mengusulkan nama Presiden Kedua RI, Soeharto, sebagai salah satu pahlawan nasional pada 21 Oktober 2025.

Usulan tersebut diserahkan kepada Kementerian Kebudayaan yang kini memegang mandat untuk menetapkan gelar pahlawan nasional atas usulan yang diberikan.

Menteri Sosial RI, Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengatakan, usulan Soeharto jadi "National Hero" sudah melalui proses panjang.

Dia mengatakan, usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional sudah dia terima sejak menjabat sebagai Menteri Sosial.

"Jadi ini juga sudah dibahas oleh tim secara sungguh-sungguh. Berulang-ulang mereka melakukan sidang, telah melalui proses itu," kata Gus Ipul di Kantor Kemensos, Jakarta, Kamis (23/10/2025).

Baca juga: Banyak Pelanggaran HAM di Zaman Orba, Soeharto Dinilai Tak Layak Bergelar Pahlawan Nasional

Usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional sebenarnya bukan kali pertama mencuat.

Catatan Kompas.com, usulan ini juga pernah digaungkan oleh elit politik partai Golkar yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR-RI, Ade Komarudin pada 2016 silam.

Ade mengatakan, Soeharto banyak berbakti pada bangsa, terllepas dari kekurangan yang ada.

Wacana ini kemudian terus bergulir dari tahun ke tahun, bahkan sempat menjadi dagangan politik untuk Partai Berkarya jelang pemilihan umum 2019.

DPP Partai Berkarya Badarudin Andi Picunang mengikrar janji, jika partai pecahan Golkar itu masuk Senayan, maka usulan Soeharto jadi pahlawan nasional bisa diperjuangkan lebih kuat lagi.

Baca juga: Guntur Romli Khawatir Jika Soeharto Pahlawan, Mahasiswa ’98 Dicap Penjahat

Dukungan dari Golkar

Kini usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali mencuat. Partai Golkar konsisten mendukung usulan tersebut.

Golkar yang besar dan dibesarkan Soeharto itu mendorong agar Soeharto bisa menjadi nama yang bersanding dengan pahlawan-pahlawan nasional lainnya karena memiliki jasa yang besar.

“Perdebatan soal pemberian gelar pahlawan kepada Pak Harto tentu wajar. Setiap tokoh besar pasti memiliki sisi yang menuai pro dan kontra. Namun, perbedaan pandangan itu tidak bisa menghapus kenyataan bahwa Pak Harto memiliki jasa besar bagi bangsa ini,” kata Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, Selasa (21/10/2025).

Baca juga: Mensos Usulkan 40 Nama Jadi Pahlawan Nasional: Marsinah, Soeharto, hingga Gus Dur

Sarmuji menilai, generasi muda saat ini mungkin tidak dapat membayangkan kondisi ekonomi Indonesia sebelum Soeharto memimpin.

Dia menyebut, dulu, kondisi rakyat sebenarnya kesulitan pangan.

“Dari kisah orangtua kami dan catatan sejarah, kondisi saat itu sangat berat, banyak rakyat yang kesulitan memperoleh pangan,” ucap dia.

Setelah Soeharto memimpin, ada perubahan besar dalam waktu relatif singkat, terutama di bidang ketahanan pangan dan pembangunan ekonomi.

“Di bawah kepemimpinan Pak Harto, situasi itu berubah drastis. Indonesia bukan hanya keluar dari krisis pangan, tetapi juga sempat mencapai swasembada yang membanggakan,” kata Sarmuji.

Stigma terhadap korban pelanggaran HAM berat

Namun suara lantang penolakan Soeharto sebagai National Hero tak kalah konsisten, datang dari para pegiat HAM, aktivis, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Politikus PDI-P, Guntur Romli mengatakan, gelar "hero" untuk Soeharto akan menimbulkan stigma gerakan reformasi sebagai "villain", penjahat, atau musuh dari pahlawan.

Para korban khususnya mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi pada 1998 akan dianggap sebagai penjahat dan pengkhianat.

"Kalau Soeharto mau diangkat pahlawan, maka otomatis mahasiswa ’98 yang menggerakkan reformasi dan menggulingkan Soeharto akan disebut penjahat dan pengkhianat. Ini tidak bisa dibenarkan,” ujar Guntur saat dihubungi, Kamis (23/10/2025).

Baca juga: Prabowo Berlutut Saat Berikan Gelar Bintang Mahaputra kepada Adik Ibu Tien Soeharto

Dia menilai pemberian gelar itu juga akan mengaburkan sejumlah catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi sepanjang masa Orde Baru.

Guntur menyebut negara telah mengakui sejumlah peristiwa pelanggaran HAM di masa pemerintahan Soeharto, mulai dari peristiwa 1965–1966 hingga penghilangan paksa aktivis menjelang kejatuhan rezim pada 1998.

“Kalau Soeharto diangkat pahlawan, maka peristiwa-peristiwa yang disebut pelanggaran HAM seperti peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari 1989, Rumah Geudong, Penghilangan Paksa 1997–1998, Trisakti, Semanggi I dan II, hingga Kerusuhan Mei 1998 bukan lagi pelanggaran HAM, tapi bisa disebut kebenaran oleh rezim Orde Baru saat itu,” tutur Guntur.

Belum lagi usulan ini disejajarkan dengan para tokoh yang menentang Orde Baru dan kepemimpinan Soeharto, seperti Marsinah, dan Presiden Keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

“Saya miris, untuk mengangkat Soeharto jadi pahlawan, tapi seakan-akan nama seperti Gus Dur dan Marsinah dijadikan barter. Padahal Gus Dur dan Marsinah dikenal melawan Soeharto dan Orde Baru,” kata Guntur.

Nepotisme dan sederet pelanggaran HAM berat

Selain melanggar HAM, Soeharto secara spesifik disebut dalam TAP MPR 11/1998 atas perlakuan nepotisme dan tindakan korupsi.

TAP MPR itu mengatakan:

"Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia,"

Namun TAP MPR tersebut kini telah berubah, dan nama Soeharto menghilang.

Koordinator untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai pencabutan itu tak lantas membuat Soeharto layak menjadi pahlawan nasional.

Karena meski dibebaskan secara politis atas dugaan nepotisme dan korupsi, nama Soeharto berkelindan dengan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

"Pada sekitar Mei sampai dengan Juni, kami bahkan telah menyerahkan kepada Kementerian Kebudayaan maupun kepada Kementerian Sosial terkait catatan-catatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, di mana kita tahu terdapat 5-6 kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di era Orde Baru, dan itu disebabkan karena rezim pada saat itu menggunakan kekuatan militer untuk melakukan kekerasan," kata Wakil Koordinator Kontras, Andrie Yunus, Kamis.

Simbolisasi tengkorak di acara diskusi publik tolak Soeharto jadi pahlawan nasional, di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (24/5/2025).KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA Simbolisasi tengkorak di acara diskusi publik tolak Soeharto jadi pahlawan nasional, di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (24/5/2025).

Selain itu, kaitan erat dengan nepotisme di masa Orde Baru, sudah sepantasnya Soeharto tidak memenuhi syarat pemberian gelar pahlawan.

"Dari syarat-syarat tersebut yang juga tidak terpenuhi, kemudian catatan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di era Soeharto, kami tegaskan kembali bahwa Soeharto tidak layak untuk diberikan gelar pahlawan," ujar dia.

Pelanggaran HAM era Soeharto

Catatan Kompas.com, terdapat beberapa kejahatan kemanusiaan yang terjadi saat Soeharto memimpin. Pertama, kasus Penembakan Misterius (Petrus) 1981-1985 dengan perintah langsung Soeharto untuk menghukum mati para bromocorah hingga preman tanpa proses peradilan.

Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat bahwa korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bandung.

Kedua, peristiwa Tanjung Priok 1984-1987. Soeharto disebut menggunakan militer sebagai instrumen kebijakan politiknya.

Akibat dari kebijakan ini, dalam Peristiwa Tanjung Priok 1984, sekitar lebih dari 24 orang meninggal, 36 terluka berat, dan 19 luka ringan.

Baca juga: Kronologi Peristiwa Talangsari di Lampung 1989

Ketiga, peristiwa Talangsari 1984-1987 yang menyebabkan 130 orang meninggal, 77 orang mengalami pengusiran paksa, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan.

Keempat, peristiwa 27 Juli 1996 atau lebih dikenal dengan peristiwa Kudatuli yang mencoba mendongkel Megawati sebagai Ketua DPP PDI saat itu.

Baca juga: Ribka Tjiptaning Singgung Kudatuli, Bagaimana Sejarah Peristiwa 27 Juli 1996?

Peristiwa ini menyebabkan 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, dan 124 orang ditahan.

Kemudian, ada peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang juga terjadi perkosaan massal, dan penculikan para aktivis.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau