
BANYAK yang sudah menulis, merespons, dan memberikan sudut pandang tentang kebijakan pemerintah satu ini, yaitu Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Program ini adalah proyek pemerintah yang sempat mengguncang tata kelola pemerintahan.
Bagaimana tidak, kebijakan efisiensi anggaran dari banyak program pemerintah lainnya harus ‘mengalah’ agar MBG dapat berjalan.
Tanpa tedeng aling-aling, program ini berjalan secara nasional, dalam waktu singkat dan harus diakui minim kajian mendalam, setidaknya begitu respons banyak pihak yang melihatnya secara kritis.
Jika kita kembali kepada faktor mengapa program ini penting, tentu kita sepakat, intervensi pemerintah sangat diperlukan dalam memenuhi gizi masyarakat, khususnya anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan.
Masalah gizi buruk, stunting dan gangguan pertumbuhan sudah lama menjadi momok yang menakutkan kita semua tentang bagaimana menghasilkan generasi berkualitas di masa yang akan datang.
Pada poin intervensi dan keterlibatan pemerintah saya setuju 100 persen. Namun, soal bagaimana makanan itu bisa sampai di hadapan para penerima manfaat kemudian masuk ke dalam mulut dan diolah oleh sistem metabolisme tubuh penerima sehingga menjadi nilai tambah gizi, nanti dulu. Banyak hal yang harus kita tinjau ulang dari hulu ke hilirnya.
Kalau kita sederhanakan, soal makan, sebenarnya tidak perlu terlalu rumit, makan adalah aktivitas wajib dan rutin.
Baca juga: Belajar Rendah Hati dari Ibunda Timothy
Secara umum ‘home’ adalah ruang paling aman untuk semua orang dan untuk urusan makan, di sana adalah ruang paling aman.
Urutan berikutnya adalah sekolah. Harusnya nalar ini bisa menjadi pijakan dalam kebijakan intervensi gizi kepada masyarakat yang membutuhkan.
Namun, opsi ini sepertinya tidak menarik bagi pemerintah. Oleh sebab itu, cara melingkar dalam pemenuhan gizi masyarakat dilakukan secara hirarkis, struktural, masif dan sistematis, melibatkan banyak variabel dan memunculkan ekosistem baru dalam hal urusan makan.
Argumentasi dasarnya tentu kita bisa berdebat panjang, mengapa jalan yang ditempuh seperti itu.
Namun, satu hal yang bisa kita lihat, pemerintah belum percaya untuk menitipkan intervensi gizi pemerintah melalui institusi sosial terkecil paling purba bernama keluarga, khususnya satu menu untuk semua variasi preferensi dan ekonomi keluarga.
Sekarang kita mengikuti nalar dan cara berpikir pemerintah dalam mengelola intervensi gizi, melalui badan setingkat kementerian yang kita kenal dengan Badan Gizi Nasional (BGN) dengan program utama MBG.
Lembaga baru yang mengelola dana APBN begitu besar ini membangun ekosistem baru, menciptakan ‘industri hulu-hilir-nya sendiri’ dengan tujuan memberikan dampak bagi pertumbuhan ekonomi.
Namun, dalam perjalanannya, BGN menghadapi tantangan sangat serius, yakni makanan yang disajikan kepada penerima manfaat yang tadinya diharapkan akan berdampak pada pemenuhan gizi justru menjadi ‘serangan balik’, mengakibatkan keracunan massal yang sampai tulisan ini selesai ditulis sepertinya belum juga ada langkah serius dalam pencegahannya.
Sejumlah siswa menyantap hidangan paket Makan Bergizi Gratis (MBG) di TK Pertiwi, Tanjunganom, Nganjuk, Jawa Timur, Senin (20/10/2025). Menurut Presiden Prabowo Subianto, program MBG telah menjangkau 36,2 juta penerima manfaat dengan total lebih dari 1,3 hingga 1,4 miliar porsi makanan yang telah disalurkan kepada masyarakat. Saya yakin, harus ada yang bertanggung jawab, baik secara sosial maupun secara hukum.