SURABAYA, KOMPAS.com - Kasus penahanan ijazah kembali terjadi di Surabaya.
Kali ini, dialami oleh ratusan alumni Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Al Hikmah Surabaya.
Para korban merupakan penerima beasiswa STKIP Al Hikmah, mulai dari angkatan 2014 hingga 2025.
Pada Selasa (13/8/25), 20 korban mendatangi Rumah Aspirasi untuk menyampaikan perkara tersebut kepada Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji.
Baca juga: UGM Buka Suara Soal Pidana Pemalsuan Ijazah dan Cara Pembuktiannya
Pria yang akrab disapa Cak Ji itu pun akhirnya melakukan mediasi dengan pihak kampus dan 20 korban yang hadir pada Jumat (22/8/2025).
Salah satu korban, Naedha (25) mengatakan bahwa saat penandatanganan kontrak beasiswa, terdapat salah satu klausul yang mewajibkan alumni untuk melakukan pengabdian mengajar dengan sekolah mitra STKIP Al Hikmah selama dua tahun.
Namun, pada tahun 2019, tiba-tiba pihak STKIP Al Hikmah mengubah aturan wajib pengabdian menjadi enam tahun tanpa adanya pemberitahuan yang jelas.
“Nah, sedangkan realitanya banyak mahasiswa yang belum dapat penempatan kerja dari STKIP. Jadinya banyak yang menganggur. Tapi ijazah ditahan, jadinya enggak bisa cari kerja,” kata Naedha saat dikonfirmasi Kompas.com.
Sementara itu, dokumen ijazah asli para alumni masih harus ditahan sampai menuntaskan kewajiban pengabdian tersebut.
“Sehingga banyak dari kami yang putus kuliah, molor kuliah, bahkan juga mencari kerja sebisa mungkin untuk mengisi waktu sambil menunggu waktu pengabdian,” tuturnya.
Baca juga: Pemkot Malang Ancam Tutup Panti Pijat AMS Buntut Penahanan Ijazah
Naedha mengungkapkan bahwa sebagian besar alumni dari angkatan pertama hingga saat ini belum dapat menerima dokumen ijazah asli.
“Sebenarnya korbannya ada 100 lebih, cuma sebagian besar itu dari luar Surabaya, ada yang dari Probolinggo, Blora, ada yang dari Jawa Tengah, Jawa Barat juga. Jadi hanya kami yang mewakilkan, tapi nantinya kami akan tetap mengawal teman-teman semua sampai tuntas,” paparnya.
Pihaknya juga sudah beberapa kali mencoba mendiskusikan hal tersebut dengan pihak kampus.
Namun, ruang diskusi tidak pernah dibuka.
“Terakhir kami diminta mengisi Google Form, oke sudah kami isi, tapi sampai sekarang hasil keputusan rapatnya seperti apa, terus jadinya kejelasannya ini bagaimana, itu tidak pernah disampaikan ke kami,” ujarnya.