Jensen Huang, Dulu Tukang Cuci Piring, Kini CEO Perusahaan Bernilai Rp 83.000T

Kompas.com - Diperbarui 01/11/2025, 13:02 WIB
Soffya Ranti

Penulis

KOMPAS.com - Nvidia kembali mencetak sejarah di dunia teknologi. Pada Rabu (29/10/2025), perusahaan chip asal Amerika Serikat ini resmi menjadi emiten pertama di dunia yang menembus kapitalisasi pasar 5 triliun dollar AS, atau sekitar Rp 83.000 triliun. 

Pencapaian luar biasa ini tidak lepas dari melonjaknya permintaan global terhadap chip kecerdasan buatan (AI) serta ekspansi besar-besaran yang tengah dilakukan untuk meningkatkan kapasitas produksi. 

Di balik keberhasilan raksasa teknologi ini berdiri sosok Jensen Huang, pendiri sekaligus CEO Nvidia, yang memulai perjalanannya jauh dari kemewahan, dari seorang tukang cuci piring di restoran hingga menjadi pemimpin perusahaan teknologi paling bernilai di dunia.

Lantas, bagaimana kisah perjalanan hidup Jensen Huang hingga mampu membawa Nvidia ke puncak kesuksesan? Selengkapnya berikut ini uraian profil dan perjalanan karirnya. 

Baca juga: Nvidia Rilis DGX Spark, Superkomputer AI “Mini” dengan Kekuatan Tinggi

Profil Jensen Huang 

Jensen Huang, pendiri sekaligus CEO Nvidia, kini dikenal sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia teknologi dan termasuk dalam jajaran 20 orang terkaya di dunia.

Berdasarkan data Bloomberg Billionaires Index per Mei 2025, kekayaan Huang mencapai 91,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.464 triliun, meningkat tajam dari awal tahun yang masih di kisaran 77 miliar dolar AS. 

Lonjakan kekayaannya tak lepas dari naiknya harga saham Nvidia seiring permintaan global terhadap chip kecerdasan buatan (AI).

Dengan kapitalisasi pasar mencapai lebih dari 2,5 triliun dolar AS, Nvidia kini menjadi perusahaan paling bernilai ketiga di dunia, berada tepat di bawah Microsoft dan Apple.

Pernah jadi tukang cuci piring

Perjalanan hidup Jensen Huang jauh dari kata instan. Pria kelahiran Tainan, Taiwan, tahun 1963 ini tumbuh dalam keluarga sederhana yang sering berpindah tempat tinggal. Saat berusia lima tahun, keluarganya pindah ke Thailand, sebelum akhirnya menetap di Amerika Serikat ketika ayahnya mengikuti program pelatihan kerja di perusahaan pendingin udara Carrier. 

Meski hidup serba terbatas, keluarganya menanamkan nilai disiplin dan kerja keras. Ibunya bahkan belajar bahasa Inggris bersama anak-anaknya dan meminta mereka menghafal sepuluh kosakata baru setiap hari.

Di usia sembilan tahun, Huang dan kakaknya dikirim lebih dulu ke Amerika Serikat dan tinggal di Oneida Baptist Institute, sekolah berasrama di Kentucky yang dikenal dengan kedisiplinannya.

Setelah beberapa tahun, keluarganya kembali berkumpul dan menetap di Portland, Oregon, tempat Huang menamatkan sekolah menengah atas lebih cepat dari teman sebayanya, pada usia 16 tahun.

Setelah lulus SMA, Huang bekerja sebagai tukang cuci piring di restoran khas Amerika. Pekerjaan sederhana itu menjadi pengalaman yang sangat berkesan baginya. Ia pernah mengatakan bahwa dari pekerjaan tersebut, ia belajar arti tanggung jawab, efisiensi, dan kerendahan hati.

Tak lama kemudian, ia dipromosikan menjadi pelayan, sebuah momen kecil yang selalu ia kenang sebagai simbol dari usaha dan ketekunan.

Awal karier di dunia teknologi

Huang melanjutkan pendidikan tinggi di Oregon State University, mengambil jurusan teknik elektro. Di kampus inilah ia bertemu calon istrinya, Lori, yang saat itu menjadi rekan satu laboratorium. 

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau