
ANALISIS Han tentang alienasi digital menemukan kedalaman psikologis lebih lanjut dalam pemikiran Erich Fromm, psikoanalis dan filsuf sosial yang mengembangkan teori kritis tentang masyarakat modern.
Dalam karya monumentalnya To Have or To Be? (1976), Fromm membedakan dua mode fundamental eksistensi manusia: mode "memiliki" (having) dan mode "menjadi" (being).
Mode "having" mendefinisikan identitas melalui kepemilikan —objek, status, performa, bahkan relasi diperlakukan sebagai komoditas yang dapat dimiliki dan dikontrol.
Mode "being", sebaliknya, mendefinisikan identitas melalui pengalaman hidup yang autentik, mencakup pertumbuhan, kreativitas, cinta, dan koneksi yang sejati dengan diri sendiri dan orang lain.
Fenomena satu juta pengguna ChatGPT yang membahas bunuh diri mengungkap krisis transisi dari mode "being" ke mode "having" yang telah mencapai titik patologis.
Baca artikel sebelumnya: Krisis Kesadaran Digital: Sejuta Pengguna ChatGPT Bahas Bunuh Diri (Bagian I)
Pengguna tidak lagi "menjadi" subjek yang mengalami kehidupan secara autentik; mereka menjadi konsumen respons empatik yang diproduksi oleh algoritma.
Mereka "memiliki" akses 24/7 ke ChatGPT, mereka "memiliki" percakapan yang tampak empatik, tetapi mereka tidak "menjadi" diri yang autentik dalam relasi intersubjektif yang sejati.
Data survei Sharing Vision mengkonfirmasi: 56,4 persen merasa tidak percaya diri tanpa kehadiran AI dan 56,1 persen mengaku sering menghabiskan waktu lebih banyak menggunakan AI daripada yang direncanakan.
Dalam terminologi Fromm, mereka telah kehilangan kapasitas untuk "menjadi" tanpa mediasi teknologi; eksistensi mereka telah tereduksi menjadi "memiliki" akses ke AI.
Fromm juga mengembangkan konsep "necrophilia" psikologis. Ini bukan dalam pengertian seksual, melainkan sebagai orientasi karakter yang tertarik pada apa yang mati, mekanis, dan tidak hidup, sebagai lawan dari "biophilia" yang mencintai kehidupan, pertumbuhan, dan organik.
Dalam The Anatomy of Human Destructiveness (1973), Fromm berargumen bahwa masyarakat industrial-teknokratik modern menciptakan karakter necrophilic yang lebih tertarik pada mesin, kontrol, dan prediktabilitas daripada spontanitas, kebebasan, dan kehidupan yang tidak terprediksi.
Ketergantungan masif pada ChatGPT untuk membahas krisis bunuh diri adalah manifestasi necrophilia psikologis ini.
Pengguna memilih berinteraksi dengan entitas yang "mati" secara ontologis—tanpa kesadaran, tanpa kehidupan subjektif, tanpa kapasitas untuk benar-benar peduli—daripada dengan manusia yang hidup, tidak terprediksi, dan menantang.
Ini bukan hanya preferensi teknologis; ini adalah indikasi orientasi karakterologis yang telah bergeser dari biophilia ke necrophilia.
Lebih jauh, Fromm dalam Escape from Freedom (1941) menganalisis bagaimana manusia modern, ketika dihadapkan dengan kebebasan yang menakutkan dan isolasi eksistensial, cenderung melarikan diri ke dalam bentuk-bentuk ketundukan: otoritarianisme, konformitas destruktif, atau automaton conformity, di mana individu menjadi robot yang mengikuti ekspektasi eksternal tanpa inner self yang sejati.
Fenomena ChatGPT dapat dipahami sebagai bentuk baru dari "escape from freedom", pelarian dari kebebasan eksistensial yang menakutkan ke dalam ilusi koneksi dengan algoritma yang tidak menghakimi, tidak menuntut pertumbuhan, dan tidak menghadirkan risiko relasi autentik.
Data menunjukkan 47,6 persen lebih memilih menggunakan AI daripada berusaha terlebih dahulu, dan 35 persen merasa bergantung pada AI untuk tugas-tugas sederhana. Ini adalah abdikasi dari kebebasan dan tanggung jawab eksistensial.
Fromm akan mengatakan bahwa ketika satu juta orang per minggu membahas bunuh diri dengan ChatGPT, mereka tidak hanya kehilangan koneksi dengan orang lain, mereka kehilangan koneksi dengan diri mereka sendiri.
Mereka telah menjadi "alienated from themselves," terputus dari inner self yang autentik, dan mencari validasi eksistensial dari cermin digital yang hanya dapat merefleksikan kembali kekosongan yang telah mereka internalisasi.
Yang paling tragis, Fromm mengidentifikasi bahwa dalam mode "having" yang patologis, bahkan penderitaan dan keinginan mati menjadi sesuatu yang "dimiliki" daripada "dialami" secara autentik.
Baca juga: Bolehkah AI Mencalonkan Diri dalam Pilpres 2029?
Pengguna tidak "menjadi" subjek yang mengalami krisis eksistensial dan mencari transformasi melalui perjumpaan dengan Orang Lain; mereka "memiliki" pikiran bunuh diri yang mereka share dengan algoritma dalam transaksi digital yang steril.
Penderitaan mereka telah terkomodifikasi menjadi data point dalam dataset OpenAI.
Kimberly Young, pionir dalam penelitian kecanduan internet dan teknologi, mengembangkan model untuk memahami bagaimana teknologi digital menciptakan ketergantungan patologis.
Meski karya awalnya fokus pada kecanduan internet umum, kerangka kerjanya sangat relevan untuk memahami ketergantungan emosional pada AI.