Suara-suara keluarga korban pembantaian massal 1965-1966 di Bali – 'Jika bapak saya PKI, tetap saja dia tidak boleh dibunuh'

Sumber gambar, BBC/Andro Saini
- Penulis, Heyder Affan
- Peranan, Wartawan BBC News Indonesia
Di tengah dominasi sejarah resmi yang tidak memberi tempat pada perspektif keluarga korban pembantaian massal 1965-1966, terus bermunculan upaya alternatif dari berbagai individu dan kelompok untuk mengisi kekosongan itu.
Di Denpasar, Bali, keluarga korban pembantaian massal itu mendirikan Taman 65 untuk melawan penormalisasian pelupaan tragedi itu.
Ada pula kisah pembongkaran kuburan massal 1965 oleh warga sebuah desa di Jembrana, Bali, demi menghormati korban-korban pembantaian.
Inilah seri ketiga sekaligus penutup liputan khusus pembantaian massal 1965-1966 di Bali:

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Oki Budhi
Pada 1971, ketika masih berusia 10 tahun, Agung Alit diajak pamannya menyaksikan pembongkaran kuburan massal tragedi 1965.
Lokasinya di pekuburan di Dusun Tembawu, Denpasar, Bali. Ada beberapa orang korban pembunuhan massal 1965-1966 dikuburkan di sana.
Dia mendengar percakapan orang-orang dewasa bahwa di sanalah jasad ayahnya, I Gusti Made Raka, dikuburkan. Lalu penggalian pun dilakukan.
“Keluarga para korban berniat menemukan mayat keluarga,” kata Agung Alit kepada saya dan videografer Oki Budhi, Selasa, 3 September 2024.
“Lalu membuatkan upacara agar roh mereka tenang di alam sana.”
Di kompleks kuburan itulah (“saya ingat sangat seram sekali tempatnya,” ujarnya), demikian para saksi mata, ayah Gung Alit dan beberapa orang yang dicap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibantai.
Tapi upaya menemukan tulang-belulang sang ayah berakhir sia-sia. Keluarga tak mampu mengidentifikasi secara persis tulang-belulangnya.
Baca juga:
“Kebanyakan mayat sudah tidak utuh lagi, hanya tulang-tulang berserakan, terpisah antara kaki, kepala, lengan,” ungkap Agung Alit.
Mereka akhirnya hanya menduga-duga saja, walaupun ada satu anggota keluarga meyakini menemukan ‘tulang rahang sang ayah’.

Sumber gambar, Perpustakaan Nasional/Musim Menjagal
Akhirnya disepakati para keluarga korban untuk membawa segepok tanah dari lokasi penggalian itu. Lalu diabenkan (diperabukan) secara simbolis di rumah keluarga besarnya.
Melihat langsung peristiwa penggalian, menyaksikan tulang-belulang dari jarak dekat, serta mendengar samar-samar bisik-bisik di antara orang-orang dewasa tentang penyebab kematian ayahnya, bocah bernama Agung Alit itu lantas bertanya pada diri sendiri: “Ayah saya dibunuh, kenapa ya?”
I Gusti Made Raka, ayah Agung Alit, adalah seorang guru. Dia sarjana muda Sastra Timur di Universitas Airlangga, Surabaya. Di usia 32 tahun, Raka dibunuh karena dituduh komunis.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan
Sang anak memiliki kenangan tersendiri terhadap bapaknya.
“Bukunya banyak sekali. Dia punya radio transistor, dia suka mendengar radio,” ungkap Agung Alit menyitir cerita ibu dan pamannya.
Ketika ayahnya hilang pada Desember 1965, Agung Alit berusia sekitar empat tahun.
Dalam buku Melawan Lupa: Narasi-Narasi Komunitas 65 Bali (2012), dia menulis “saya tidak tahu apa-apa soal peristiwa tersebut”.
Hanya satu yang terekam samar-samar di benaknya, yaitu ketika dia melihat segerombolan orang datang ke rumah membongkar rumahnya.
“Itu saja,” katanya.
“Saya sama sekali tidak merasakan kengerian atau pun trauma pada usia itu,” tambahnya.

Sumber gambar, Perpustakaan Nasional/Musim Menjagal
Kakaknya, I Gusti Mayun Karmadi, memiliki ingatan lebih atas tragedi itu. (“Panggil saya Ibu Mayun saja, itu sudah lengkap,” ujarnya.)
Usianya delapan tahun ketika gerombolan Tameng—kelompok milisi bersenjata yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI)—menyerbu dan menghancurkan rumahnya.
“Terus kita diajak tidur ke pura, ke tempat persembayangan,” cerita Mayun kepada kami.
Dia lantas bertanya kepada kakek dan neneknya tentang apa yang terjadi saat itu.
“Bumi gawat,” itulah yang terdengar di telinganya saat itu. Kata-kata itu disampaikan setengah berbisik.
Ketika itu ayahnya sudah hilang dan sejak saat itulah mereka tidak pernah bertemu lagi.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan
Mayun lalu teringat, di malam-malam itu, mereka tidak bisa tidur nyenyak, “karena suara-suara rumah terbakar.”
“Lalu tiap hari melihat laki-laki berpakaian hitam-hitam mondar-mandir di jalan,” ungkapnya.
Mayun lantas teringat momen-momen intim dengan ayahnya.
Baca juga:
- Seni tradisional Sandur yang distigma PKI, tapi dirindukan dan diperjuangkan – ‘Melihat Sandur, ya melihat diri kita’
- Penantian panjang keluarga korban Peristiwa 65 di Palu – ‘Ayah dituduh PKI, langsung ditangkap dan dipenjara’
- Tarian Genjer-Genjer kembali ditampilkan – ‘Saya mengenalkan Genjer-Genjer bukan pada politik, tapi seni yang sebenarnya’
Suatu hari, Raka bersantai dengan dirinya dan dua adiknya, I Gusti Made Santikarma (Degung) dan I Gusti Ketut Agung Astukarma (Agung Alit).
“Bapak main seruling, sambil menggendong Alit,” Mayun membuka cerita.
Sang ayah—yang hobi main seruling—lantas meminta mereka tidur.
“Setelah momen itulah, bapak enggak datang-datang lagi.”

Sumber gambar, Perpustakaan Nasional/Musim Menjagal
Nama Raka disebut sejarawan John Roosa dalam buku Riwayat Terkubur: Kekerasan antikomunis 1965-1966 di Indonesia (2024).
Dia menyebut ayah Agung Alit itu “seorang intelektual Bali yang tinggal di kawasan Kesiman di Denpasar”.
Roosa menulis bahwa Raka adalah editor harian Fadjar, surat kabar milik PKI di Bali.
Dalam wawancara kepada kami, Agung Alit mengaku baru mendengar bahwa ayahnya seorang editor surat kabar tersebut.
Raka diambil dari tahanan polisi dan dibunuh oleh Tameng di Denpasar pada Desember 1965, tulis Roosa dalam buku tersebut.
Ibu Mayun mendapatkan informasi bahwa ayahnya dijemput sejumlah orang.
Ayahnya dibawa ke kantor Komando Distrik Militer (Kodim) di Denpasar.

Sumber gambar, hadhikusuma/Instagram Agungalitfairtrade
“Itu dibilang mau diamankan,” ujar Mayun mengutip keterangan ibunya. Peristiwa ini disaksikan ibunya dengan perasaan takut dan was-was.
Dua hari kemudian ibunya mengantar makanan ke kantor Kodim di Denpasar, namun dia diberitahu bahwa suaminya tidak ada di sana.
“Kami sedih sekali bahwa bapak tidak ada di sana,“ Mayun mencoba mengingat-ingat lagi momen-momen ketika dia mendengar kali pertama bahwa ayahnya raib.
Sejumlah saksi mata mengaku sempat melihat Raka di alun-alun Kota Denpasar, kata Agung Alit mengutip cerita ibunya.
Lalu ayahnya ditangkap dan dipindahkan ke kendaraan jeep untuk digelandang ke Kantor Camat di wilayah Kesiman.

Sumber gambar, Facebook Agung Alit
“Nah, dari sana, bapak saya dilempar ke truk. Kabarnya saat itu dia berteriak memanggil nama saya ‘Alit, Alit, Alit…‘
“Setelah itu mungkin dieksekusi. Saya dengar bapak dihabisi, dieksekusi di pekuburan di Dusun Tembawu,” ungkap Agung Alit.
Setelah ayahnya hilang, para tameng masih berkeliaran di sekitar rumah.
Baca juga:
Mayun masih ingat betul ketika salah-seorang anggota milisi itu memaksa ibunya masuk ke kamar.
“Saya lihat ibu saya dibawa masuk ke kamar. Saya ingin tahu saja, pintu memang terbuka,” cerita Mayun kepada kami.
Ibunya diinterogasi dan disuruh memperlihatkan pahanya.

Sumber gambar, Getty Images
“Apakah ada gambar di badan ibu?” Ibunya mengisahkan ulang apa yang ditanyakan sang pria itu.
Mayun tidak menjelaskan detil, tetapi sangat mungkin si interogator itu mau menanyakan ihwal tato palu arit.
Baca juga:
Pertanyaan seperti itu sering dilakukan para interogator terhadap kaum perempuan yang dituduh simpatisan PKI atau Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)—organisasi yang dikenal dekat dengan PKI
Kelak terungkap bahwa fitnah seksual— termasuk soal tato palu arit di paha itu—terhadap orang-orang yang dicap simpatisan Gerwani terbukti hanyalah fitnah dan kebohongan belaka.

Sumber gambar, Getty Images
Hasil penelitian sejumlah sejarawan belakangan membuktikan bahwa itu merupakan produk propaganda teror dan kampanye fitnah secara terus-menerus oleh Angkatan Darat.
Mayun melanjutkan: “Syukur, kata ibu saya, dia tidak diapa-apakan.”
Seperti yang dialami para keluarga orang-orang yang dicap PKI, ibunya pun dipecat dari pekerjaannya sebagai guru.
Baca juga:
Stigma, trauma berkepanjangan, ketakutan, serta diskriminasi selama bertahun-tahun pun menimpa mereka.
Mayun, Degung dan Alit kemudian dibesarkan kakek dan neneknya.
“Benar-benar malang kami saat itu,“ kenang Mayun.

Sumber gambar, Getty Images
Setelah Suharto dipaksa turun dari kursi kekuasaan pada pertengahan 1998, dan bergulir tuntutan reformasi, situasi politik kemudian berubah.
Seiring keterbukaan, lalu akses yang makin terbuka lebar terhadap literatur terkait tragedi 1965, serta perjumpaannya dengan banyak keluarga korban, Alit bersama keluarga inti lalu mendirikan Taman 65 pada 6 Mei 2005.
“Kita bangun ini untuk menjadi ruang memperingati dan sekaligus belajar tentang peristiwa 65, peristiwa keji itu, juga untuk mengenang korban yang mati,“ kata Agung Alit saat kami jumpai di taman tersebut.
Secara fisik, Taman 65 berupa ruangan terbuka kira-kira enam kali lima meter. Lokasinya di bekas kamar ayahnya yang dulu diobrak-abrik anggota Tameng.

Sumber gambar, Getty Images
Di salah-satu sudutnya dipasang patung setengah dada ayahnya, I Gusti Made Raka.
Di dinding di belakang patung itu, ada tulisan berukuran besar: Forgive but never forget.
“Di halaman rumah saya ini ada lima orang [dibantai]. Di kampung Kesiman ada 45 lebih orang [dibunuh]. Kemudian di Bali ada 80.000 orang [dibantai]. Di Indonesia, lebih dari satu juta,“ ungkap Agung Alit.
Dengan mendirikan taman 65, dia mengharap masyarakat bisa belajar dari peristiwa itu.
“Dan jangan dilupakan, karena itu keji sekali,” ujarnya.
Dia juga menjelaskan bahwa taman itu juga didirikan agar tidak ada penormalisasian pelupaan tragedi 65.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Oki Budi
Terhadap pembantaian terhadap ayahnya dan orang-orang yang dicap PKI pasca 1 Oktober 1965, demikian Agung Alit mengatakan, tidak dibolehkan apa pun alasannya.
“Jika dia [ayahnya] PKI, bagi saya tidak masalah. Itu pilihan yang sah, lagipula PKI waktu legal. Dan legal atau tidak, tetap tidak boleh dia dibunuh,“ tegasnya.
Setelah didirikan, Alit mengaku tidak semua keluarga besarnya dapat menerima pendirian taman 65 di lokasi itu.
Baca juga:
Dia menghormati sikap mereka, tapi dia meminta mereka tak melarangnya.
Dalam perjalanannya, Agung Alit merasa fungsi taman 65 sebagai ruang bertutur terkait peristiwa itu, dihadiri pula keluarga orang-orang yang dulu disebut sebagai pelaku.
“Dia [keluarga Tameng] mau mulai berdatangan, bisa bercerita ‘oh, kakek saya dulu jadi Tameng’. Yang lain cerita bibi atau kakeknya hilang,” ungkapnya seraya menilai para Tameng itu juga korban akibat menjadi korban propaganda Angkatan Darat.

Sumber gambar, Getty Images
Pada titik ini, Agung Alit merasa keberadaan taman 65 telah menjadi ruang untuk bertutur di antara orang-orang dengan latar berbeda dalam konteks kejadian 1965.
Di sinilah, dia membayangkan taman 65 mungkin saja dapat digunakan untuk menuju rekonsiliasi.
“Tentu saja, tidak hanya sampai di situ saja,” katanya.
“Negara harus menyelesaikannya,” demikian Agung Alit.
“Seret saja siapa saja pelaku-pelakunya ke pengadilan. Di negara lain bisa, kenapa kita tidak bisa.“
Suara Agung Alit terdengar lantang di tengah mandeknya upaya hukum atas peristiwa keji itu.
Cerita di balik pembongkaran kuburan massal 1965 di Jembrana Bali

Sumber gambar, Arsip Ida Kade Juli Restu
“Katakan! Apakah kamu anggota Gerwani?” bentak sang interogator.
“Tunjukkan di mana tato palu arit di badanmu, Serni?”
Perempuan itu diseret, disiksa dan dipaksa menunjukkan tato itu.
“Buka!”
Tangan perempuan itu dengan enggan kemudian menyingkap kain yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Tidak ada gambar palu arit di sana.
Pertanyaan seputar tato palu arit dan fitnah seksual terhadap Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia)—organisasi yang dikenal dekat dengan PKI—kelak terbukti hanyalah fitnah dan kebohongan belaka.

Sumber gambar, Arsip Ida Kade Juli Restu
Hasil penelitian sejumlah sejarawan belakangan membuktikan bahwa itu produk propagada teror dan kampanye fitnah secara terus-menerus oleh Angkatan Darat.
Namun demikian, teror sistematis oleh Angkatan Darat ini terbukti ampuh dan efektif melahirkan gelombang pembunuhan massal pada 1965-1966 terhadap orang-orang yang dicap PKI atau Gerwani.
Kembali ke sosok perempuan yang diinterogasi itu. Ida Ayu Putu Serni, perempuan yang diinterogasi itu, adalah penari janger.
Dia sering tampil di acara-acara kesenian yang digelar oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan
Di Desa Batu Agung, di utara Jembrana, Bali, Serni adalah bintang panggung yang dielu-elukan pada pertengahan 1960-an.
Di masa itu desa tempatnya tinggal disebut sebagai basis massa partai berlogo palu arit itu.
Namun setelah kudeta yang gagal di Jakarta pada 1 Oktober 1965, dan kedatangan pasukan RPKAD ke Bali dua bulan kemudian, hidup Serni hancur.
Orang-orang yang dianggap anggota dan simpatisan PKI di desa itu diburu dan dibantai—tak terkecuali suaminya yang aktivis PKI ditangkap dan dibantai.
Kepingan kisah pahit ini diceritakan ulang oleh Serni kepada sang keponakan, Ibed Yuga.

Sumber gambar, Arsip Ida Kade Juli Restu
Pemuda kelahiran 1983 ini bertemu kembali dengan sang bibi setelah pulang ke kampungnya di Dusun Pancaseming, Desa Batu Agung, Jembrana, Bali.
Ibed sudah tinggal di Yogyakarta selama belasan tahun setelah lulus kuliah di salah-satu perguruan tinggi di kota itu.
Di sana dia aktif menjadi sutradara teater dan penulis lakon.
Pada September 2015, dia pulang ke Jembrana.
Dia saat itu mendengar informasi bahwa kuburan massal korban pembantaian 1965 yang terletak di depan bangunan sekolah dasar di Dusun Masean—tak jauh dari rumah orangtuanya—akan dibongkar.

Sumber gambar, Arsip Ida Kade Juli Restu
“Kabar tentang pembongkaran itulah yang meramaikan kembali cerita tentang peristiwa 1965 di kampungku,” kata Ibed kepada saya dan videografer Oki Budhi, Sabtu, 7 September lalu.
Kami mewawancarai Ibed di Yogyakarta setelah sepekan melakukan liputan di Jembrana dan Denpasar, Bali.
Rencana pembongkaran kuburan massal itu, tentu saja, membuka lagi cerita tentang pembantaian massal 1965-1966 di kampungnya.
Para orang tua, utamanya saksi mata, juga anak-anak muda yang tak terpapar kekerasan itu, pun membicarakannya ulang.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan
Ibed, yang semula tidak peduli tentang peristiwa kekerasan 1965 di kampungnya, pun tak bisa mengelak dari atmosfir seperti itu.
Di hari-hari itu, apa yang dialami Serni—kakak bapaknya—pada tahun-tahun gelap itu pun mengusik kesadarannya.
“Cerita itu yang kemudian memberikan sentuhan kepada saya,” ungkapnya.
Di hadapannya, sang bibi dengan emosional mengisahkan ulang apa yang dilakukan para interogator itu terhadap dirinya.
“Dia menceritakannya sampai kemudian dia membuka pahanya di depan saya.” Ibed menarik napas panjang.
Ibed lalu melanjutkan: “Saya kemudian ngeh, peristiwa besar itu ternyata masuk ke dalam keluargaku.”

Sumber gambar, Buku 'Penghancuran PKI' (Olle Tornquist, 2017)
Dan setelah tergugah untuk mencari tahu, Ibed akhirnya menjadi tahu bahwa kakeknya—dari garis ayahnya—adalah simpatisan PKI.
“Kakek saya kemana-mana pakai caping dengan tulisan Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan bangganya,” ungkapnya.
Sebagian kerabat garis ibunya juga bersimpati pada kelompok merah—istilah untuk menyebut PKI.
Padahal semula Ibed mengira keluarga ayah dan ibunya ada di bagian item—istilah untuk menyebut kelompok politik Partai Nasional Indonesia (PNI).
Ketika itu, dua partai ini bersaing merebut simpati warga di desanya.
“Aku salah, nyatanya mereka [keluarganya] ambil bagian di blok merah,” tulisnya di bagian penutup buku naskah drama karyanya berjudul Janger Merah (2021).

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Oki Budhi
Di buku itu pula, Ibed bertanya-tanya mengapa kesadaran itu baru ditemukannya setelah 50 tahun peristiwa biadab itu.
Dia tak memungkiri hal itu bisa terjadi lantaran saat bocah dia dicekoki narasi sejarah dan cerita kepahlawan versi Orde Baru.
Inilah yang mungkin melatari kenapa keluarganya tidak berterus terang.
“Kekacauan situasi politik serta informasi yang biaslah yang membuat mereka ikut bersembunyi,” pikirnya.
Selama menggali informasi mengenai tragedi 1965 di desanya, Ibed mendapat fakta baru tentang siapa yang mengeksekusi 11 orang yang disebut simpatisan PKI di desanya.

Sumber gambar, Getty Images
Mereka para pentolan partai palu arit ini—termasuk suami Serni—dikumpulkan di lapangan sekolah dasar.
Para tentara, para anggota milisi Tameng, serta polisi mengelilinginya. Tapi bukan mereka eksekutornya.
“Para simpatisan PKI [yang tidak dibunuh] itulah yang disuruh untuk memukul mereka satu per satu, tanpa senjata, hanya dengan tangan kosong,” kata Ibed berdasarkan cerita saksi mata yang melihat langsung peristiwa itu.
Dari cerita saksi mata, jika mereka menolak menghajarnya, maka akan menjadi korban selanjutnya.
“Ini semacam seakan-akan cuci tangan, bahwa bukan mereka [tentara, polisi, atau Tameng] yang membunuh.”

Sumber gambar, Getty Images
Pada 29 Oktober 2015, setelah 50 tahun pembantaian itu, kuburan mereka akhirnya dibongkar atas inisiatif warga desa.
Kebanyakan yang terlibat di dalamnya adalah generasi yang disebut Ibed “lumayan berjarak” dari peristiwa jahanam itu.
“Mereka tidak diwarisi dendam sehingga bisa melihat peristiwa itu—katakanlah—lebih netral,” katanya.
Orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah gabungan keluarga korban dan pelaku.
Adik Ibed Yuga, Ida Kade Juli Restu, mengatakan keluarga korban dan pelaku sudah sering bertemu. Mereka bersua terutama di acara keagamaan di lingkup desa atau banjar (dusun).

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan
"Mereka intinya sudah bisa menerima peristiwa [tragedi 1965] itu," ujar Juli—panggilan pria kelahiran 1988 ini.
Perekatnya adalah pertalian darah atau hubungan persaudaraan di antara mereka.
Kami menemui Juli di rumahnya di Dusun Pancaseming, Desa Batu Agung, Jembrana, Bali, pada Rabu, 4 September 2024 lalu.
Bersama Juli, kami kemudian mendatangi lokasi bekas kuburan massal tersebut.
Sore itu, di halaman sekolah yang dulu dijadikan lokasi eksekusi 11 orang yang dicap PKI, ada anak-anak bermain sepak bola.
Dan Juli mengaku sejak lokasi kuburan massal itu 'dibersihkan' dan tulang-belulangnya 'disucikan', dia tidak lagi didera ketakutan saat melalui jalan itu di malam-malam hari.
"Kalau dulu, naik motor selalu tancap gas, ngebut tiap depan sekolah itu," Juli tertawa.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan
Jarak waktu puluhan tahun rupanya telah mengubah segalanya. Dan sebagai generasi yang tak terpapar langsung tindak kekerasan itu, Juli mengutarakan sebuah frasa "kuburlah semua ini, janganlah ada rasa benci."
Juli juga sering mendapatkan semacam petuah dari generasi bapak atau kakeknya perihal pembantaian itu.
"Ingatlah, dulu ada kejadian kayak gini. Jangan kehasut oleh orang luar, adu domba," kata Juli yang ikut terlibat dalam proses pembongkaran kuburan massal didesanya itu.
Dia tidak memungkiri dahulu mungkin saja ada rasa benci atau dendam di antara keluarga korban dan pelaku.
Namun dalam perjalanannya, mereka kemudian menyadari bahwa pembantaian itu bukanlah kehendak warga, namun 'tekanan' pihak lain.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan
"Dan para keluarga sepertinya bisa menerimanya," tambah Juli.
Motivasi yang melatari pembongkaran kuburan massal itu, demikian Juli, lebih didasarkan pendekatan religius atau spiritual.
Mereka intinya menyatakan korban yang terkubur di sana harus dihormati.
"Intinya kita harus fokus untuk mensucikan, mengupacarai pada korban-korban tersebut," katanya.
Para penggagas acara itu menyadari bahwa keberadaan kuburan massal itu dilatari peristiwa nan kelam.

Sumber gambar, Getty Images
Dan keberadaan mayat-mayat itu dianggap tidak pada tempatnya, kali ini kata Ibed.
Keyakinan seperti itu membuat warga di desa itu selama puluhan tahun dihantui berbagai peristiwa buruk.
Ibed di masa kecilnya pun mengalaminya.
“Banyak teman yang celaka juga di sekolah itu, termasuk saya sendiri,” ujarnya.
Suatu hari dia mengalami luka fisik akibat aktivitas di halamannya.
Ini kemudian dikaitkan dengan keberadaan kuburan massal di depan SD Negeri Tiga Batu Agung itu.
Letak bangunan sekolah itu di pertemuan tiga jalan, sehingga warga menyebut wilayah yang dikenal angker itu sebagai marga telu—jalan tiga alias pertemuan tiga jalan.

Sumber gambar, Getty Images
“Dan teman-teman meyakini kalau saya dilukai hantu-hantu di sana.”
Ini bisa terjadi lantaran mereka meyakini ada beberapa mayat yang ditimbun di depan sekolah dasar itu.
Sehingga warga desa, sambungnya, akhirnya sepakat untuk mengangkat tulang-belulang para korban dan melakukan upacara keagamaan.
“Saya percaya kalau ada mayat tidak pada tempatnya itu menimbulkan kekotoran bagi semesta, bagi kosmos desa,” jelas Ibed.
Maka, mayat-mayat mereka harus dibersihkan secara spiritual.
“Harus diaben, dikembalikan ke tempat yang semestinya, menurut ajaran Hindu Bali,” tambahnya.

Sumber gambar, Arsip Ida Kade Juli Restu
Sisa-sisa kerangka mereka lalu diangkat dan diabenkan (diperabukan) secara massal oleh masyarakat. Abunya kemudian diupacarai sebelum dilarung ke laut.
Selesai? Bagi Ibed itu barulah sebuah awalan.
Sebagai seniman teater, anak sulung pasangan Ida Ketut Arnyana dan Ida Ayu Kade Redani ini tergugah untuk menerjemahkannya dalam sebuah naskah teater.
Bersama dua rekannya, Dwitra Ariana (pembuat film dokumenter) dan Gede Indra Pramana (periset politik), masing-masing lalu menilik pembongkaran kuburan massal itu dari kacamata masing-masing.
“Ini berangkat dari biografi bibi saya yang seorang penari janger,“ kata Ibed yang di masa kecilnya pernah aktif di dunia tari-tarian.

Sumber gambar, Arsip Ida Kade Juli Restu
Dari hasil riset lapangan, Ibed dan dua rekannya itu bersepakat bahwa pembongkaran kuburan massal dan ngaben para korban itu bentuk rekonsiliasi dan konsolidasi.
“Yang sangat bermakna bagi wacana 1965,“ tulis Ibed di bagian akhir bukunya.
Dalam naskah teaternya itu, Ibed mencoba melihat peristiwa kekerasan 1965 di kampungnya itu tidak secara hitam-putih, tidak meneropong mana yang salah atau mana yang benar.
Pendiri Kalanari Theatre Movement di Yogyakarta ini pun memotret tragedi di desanya itu dari berbagai macam sudut pandang—termasuk politik.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Oki Budi
Ibed pun menyentil keberadaan kuburan massal 1965 di Bali yang dilupakan dan Bali sebagai lokasi kunjungan wisata.
“Antara peristiwa tragedi 1965 dengan pariwisata, bagi saya, adalah satu hal yang sangat bertolak belakang,” kata Ibed dalam wawancara dengan kami.
“Bali sekarang merayakan pariwisata, sedangkan banyak kuburan massal yang sampai sekarang di Bali juga belum dibongkar.
"Saya melihat ada semacam perayaan di tengah sesuatu [pembantaian massal 1965-1966 di Bali] yang belum selesai,” tandas Ibed.
Artikel ini merupakan tulisan ketiga sekaligus terakhir dari liputan khusus Pembantaian massal 1965-1966 di Bali.
Anda dapat membaca tulisan pertama Hantu-hantu 'Toko Wong' dan pembantaian massal 1965-1966 di Bali – 'Ratusan orang ditembak senapan mesin'.
Silakan pula untuk membaca tulisan kedua Pengakuan anak-anak 'algojo' pembantaian 1965-1966 di Bali – ‘Bapak membunuh pentolan komunis, tapi adiknya dibantai karena dukung PKI’