Aktivis Lokataru ditangkap buntut gelombang demonstrasi Agustus – 'Pola yang berulang usai unjuk rasa besar'

Personel Polres Ternate mengamankan seseorang mahasiswa dalam aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Kota Ternate, di Ternate, Maluku Utara, Senin (1/9/2025)

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Andri Saputra

Keterangan gambar, Personel Polres Ternate mengamankan seseorang mahasiswa dalam aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Kota Ternate, di Ternate, Maluku Utara, Senin (01/09).

Polda Metro Jaya menetapkan aktivis HAM sekaligus Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen, sebagai tersangka, Selasa (02/09). Polisi menuduh Delpedro menyebar hasutan yang menimbulkan kerusuhan dengan melibatkan anak—dalam gelombang demonstrasi akhir Agustus lalu.

Delpedro ditetapkan sebagai tersangka bersama seorang staf Lokataru lain, Mujaffar Salim. Lokataru adalah organisasi nirlaba di Jakarta yang berfokus pada isu hak asasi manusia (HAM).

Terkait kasus ini, kelompok masyarakat sipil dan pengamat menyebut polisi "gagal membedakan antara ekspresi kebebasan pendapat dan provokasi".

"Apa tafsir mereka [polisi]? Jangan-jangan tidak bisa membedakan antara ekspresi berpendapat dan provokasi," kata sosiolog di Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun.

Polisi belum memerinci dugaan hasutan yang dilakukan Delpedro, tapi menyatakan penyelidikan terhadap gerak-gerik aktivis Lokataru itu sudah dilakukan sejak unjuk rasa pertama digelar pada 25 Agustus.

Pendiri Lokataru, Harris Azhar, menilai penetapan tersangka Delpedro oleh polisi sebagai "praktik pengambinghitaman" pegiat HAM dan demokrasi.

mahasiswa, demonstrasi

Sumber gambar, AFP/Getty Images

Keterangan gambar, Ratusan mahasiswa menyalakan lilin di kompleks Institut Teknologi Bandung, Selasa (02/09), untuk bersolidaritas pada korban tewas dalam rentetan unjuk rasa di berbagai kota di Indonesia.

Kronologi penangkapan Delpedro

Polda Metro Jaya menjerat Delpedro dengan pasal berlapis, mulai dari penghasutan untuk melakukan kekerasan, menyebarluasakan informasi elektronik yang menyebabkan kerusuhan, dan sejumlah pasal tentang perlindungan anak.

Merujuk kronologi penangkapan yang disusun LBH Jakarta, Delpedro dijemput paksa oleh sekitar sepuluh polisi berpakaian serba hitam di kantor Lokataru Foundation di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur, pada Senin (01/09) malam.

Para polisi yang berasal dari Sub Direktorat Keamanan Negara Polda Metro Jaya itu tiba di kantor Lokataru sekitar pukul 22.30 WIB.

Mereka mengetuk pintu kantor Lokataru dan langsung menanyakan keberadaan Delpedro saat pintu dibuka.

Mendengar namanya disebut, Delpedro kemudian menukas, "Saya Pedro."

Salah seorang pendemo menuntup mukanya saat polisi melepaskan gas air mata dalam unjuk rasa pada Sabtu (30/08).

Sumber gambar, antara

Keterangan gambar, Salah seorang pendemo menuntup mukanya saat polisi melepaskan gas air mata dalam unjuk rasa pada Sabtu (30/08).
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Rombongan tersebut lantas menunjukkan selembar kertas berwarna kuning yang mereka klaim surat penangkapan. Mereka pun meminta Delpedro mengikuti mereka ke Polda Metro Jaya.

LBH Jakarta menyatakan tidak ada kekerasan saat "penjemputan paksa" itu, tapi prosesnya disebut berlangsung tergesa-gesa dengan pengawalan enam mobil.

Lokataru dalam keterangannya menyebut Delpedro sempat menanyakan legalitas surat penangkapan serta meminta pendampingan hukum lantaran pasal-pasal yang dituduhkan belum dipahaminya.

Namun, terang Lokataru, rombongan polisi itu berdalih mereka telah memiliki surat tugas yang menginstruksikan penangkapan dan penggeledahan.

Sejumlah polisi yang datang sempat pula meminta Delpedro mengganti baju sebelum dibawa ke Polda Metro Jaya, tapi Lokataru menyebut instruksinya disampaikan para polisi dengan intonasi yang mengarah pada intimidasi.

Selain itu, Delpedro pun dilarang menggunakan telepon selular untuk menghubungi sejawatnya.

demonstrasi, polisi

Sumber gambar, AFP/Getty Images

Keterangan gambar, Potret pasukan kepolisian dalam unjuk rasa di Gorontalo, Senin (01/09).

Menilik kronologi tersebut, Lokataru menilai penangkapan tersebut cacat prosedur, mengabaikan prinsip HAM, dan pembatasan hak konstitusional.

"Saat melakukan aksi tersebut, petugas juga memasuki lantai dua kantor secara tidak sopan dan melakukan penggeledahan, serta merusak dan menonaktifkan CCTV kantor yang berpotensi menghilangkan bukti dan menimbulkan kerugian hukum," demikian keterangan Lokataru.

Senada pernyataan Pengacara Publik LBH Jakarta yang ikut mengadvokasi kasus Delpedro, Fadhil Alfathan, yang menilai penangkapan itu tidak sah.

Menurutnya, seseorang tidak bisa ditangkap jika belum ditetapkan sebagai tersangka. 



"Kami menilai ada tindakan sewenang-wenang yang dilakukan polisi," ujar Fadhil.

Apa alasan polisi tangkap Delpedro?

Juru Bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Ade Ary Syam, dalam keterangan pers pada Senin (02/08) mengatakan penangkapan dilakukan "setelah penyidik menemukan bukti cukup" perihal ajakan provokasi memicu kerusuhan yang dilakukan Delpedro.

Ade menyebut Delpedro tidak menyuarakan demonstrasi damai, melainkan provokasi agar massa melakukan kerusuhan.

Namun, saat ditanya detail provokasi yang dilakukan Delpedro, Ade Ary tak memerincinya dengan dalih masih didalami para penyidik.

Ade Ary juga menyebut penyelidikan terhadap Delpedro telah dilakukan sejak demonstrasi pertama berlangsung pada 25 Agustus 2025.

"Bukan ajakan melakukan aksi demo, tapi ajakan melakukan anarki. Saya ulangi, ajakan hasutan yang provokatif untuk melakkan aksi anarkistis dengan melibatkan pelajar, termasuk anak-anak," kata Ade Ary.

polisi, hukum

Sumber gambar, AFP/Getty Images

Keterangan gambar, Poster solidaritas dari mahasiswa dan kelompok pelajar di Bandung untuk Affan Kurniawan, pengendara ojek online yang tewas dilindas polisi.

Pendiri Lokataru, Haris Azhar, menilai langkah polisi menangkap sejawatnya sebagai tindakan berlebihan.

Haris mengatakan, unggahan Lokataru di media sosial tidak bermuatan hasutan yang menyebabkan para pelajar ikut dalam gelombang unjuk rasa yang berujung kerusuhan.

"Itu adalah ekspresi yang enggak berbentuk hasutan," kata Haris.

"Apa koneksinya unggahan itu dan ribuan unggahan lain dengan anak-anak di bawah umur?"

Menurut Haris, Lokataru justru memberikan pendampingan hukum bagi anak-anak yang ditangkap polisi buntut gelombang demonstrasi akhir Agustus lalu.

Alhasil, ia pun menilai langkah polisi menangkap Delpedro sebagai "praktik pengambinghitaman."

"Kenapa menyasar teman-teman yang kerja advokasi?" kata Haris.

Polisi juga menangkap sejumlah aktivis lain

Selain Delpedro dan Mujaffar Salim dari Lokataru, polisi dilaporkan juga sempat menangkap dua pengacara publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di dua kota berbeda buntut gelombang unjuk rasa.

Seorang pengacara YLBHI ditangkap di Manado, Sulawesi Utara, serta satu orang lainnya ditangkap di Samarinda, Kalimantan Timur.

YLBHI tak memerinci identitas keduanya, tapi pengacara YLBHI di Manado disebut sempat dianiaya aparat tatkala hendak ditangkap pada 1 September lalu.

Sementara pengacara publik di Samarinda ditangkap saat melakukan pendampingan hukum pada 1 September. Ia diperiksa hingga dini hari, lalu dibebaskan dengan syarat.

BBC News Indonesia menghubungi Juru Bicara Mabes Polri untuk mengonfirmasi penangkapan di sejumlah daerah, tapi tak beroleh balasan.

Penangkapan juga menyasar aktivis Gejayan Memanggil, Syahdan Husein, yang ditangkap di Bali pada 1 September, sekitar pukul 23.00 WITA.

Gejayan Memanggil adalah gerakan kolektif demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil yang lahir di Yogyakarta.

Nama Gejayan diambil dari nama jalan setempat yang merupakan lokasi ikonik saat demonstrasi mahasiswa menentang Orde Baru pada 1998.

Aparat bersenjata terlihat berjaga di salah satu sudut Jakarta saat kerusuhan Mei 1998.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Aparat bersenjata terlihat berjaga di salah satu sudut Jakarta saat kerusuhan Mei 1998.

Penangkapan Syahdan dikonfirmasi salah saeorang admin gerakan kolektif tersebut, tapi dibantah Polda Bali.

Buntut gelombang unjuk rasa akhir Agustus, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat 20 orang hilang yang belum diketahui keberadaannya.

Sebanyak 13 orang yang sempat dilaporkan hilang belakangan telah ditemukan, dalam kondisi ditahan kepolisian.

Kontras menyatakan mereka "ditahan secara rahasia dan mengalami penangkapan sewenang-wenang serta proses hukum yang tidak sesuai prosedur".

'Aparat tidak mampu belajar dari kesalahan masa lalu'

Pengamat sosial UNJ, Ubedillah Badrun menilai serangkaian penangkapan aktivis tersebut menunjukkan bahwa aparat keamanan tidak belajar dari pengalaman.

Menurut Ubedillah, masyarakat masih menyimpan kemarahan usai kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online pada 28 Agustus lalu.

Namun, aparat kepolisian justru mengulangi sikap represif yang sama, bahkan mencontek apa yang dilakukan pemerintahan Orde Baru—kala itu juga menculik sejumlah aktivis prodemokrasi.

"Sudah ada rakyat dilindas dan aktivis juga ditangkap, tapi saya kira aparat tidak mampu belajar dari kesalahan masa lalu," ujar Ubedillah.

Ia pun menilai rangkaian peristiwa saat ini sebagai ancaman berbahaya bagi demokrasi karena semua lapisan masyarakat seperti tidak diberikan kebebasan berpendapat.

"Dalam kerangka demokrasi, ini ancaman penting dan berbahaya," kata Ubedillah.

demonstrasi

Sumber gambar, AFP/Getty Images

Keterangan gambar, Potret sebuah kantor polisi di Surabaya yang dibakar usai unjuk rasa, 31 Agustus lalu.

Pengamat Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Dominique Nicky Fahrizal, menilai pemerintah seperti hendak menata ulang kekuasaannya lewat rangkaian penangkapan aktivis.

"Ini pola mengembalikan ketertiban masyarakat setelah unjuk rasa besar," kata Nicky.

"Kebetulan juga mendapat momentum dengan pernyataan Presiden Prabowo [Subianto] yang seperti melegitimasi untuk sweeping," ujarnya.

Legitimasi Prabowo itu pula, tambah Nicky, yang membut aparat keamanan kemudian seperti mengabaikan prosedur sesuai undang-undang.

Merujuk aturan, penangkapan dan penahanan semestinya didahului surat pemanggilan.

"Ini di luar penindakan hukum yang proporsional," ujar Nicky.

Penilaian Nicky itu senada dengan pernyataan Ubedillah yang menyebut aparat seperti mendapat legitimasi karena Prabowo mengatakan akan menindak tegas "pendemo yang merusuh".

Prabowo juga akan menaikkan pangkat anggota polisi yang terluka akibat demonstrasi.

"Penghargaan semacam itu sangat berbahaya. Akhirnya, aparat berlomba-lomba melakukan tindakan represif," kata Ubedillah.