Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketika Asia Tenggara Jadi Panggung Ambisi Trump

Penulis: Tommy Walker/DW Indonesia

KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tiba di Jepang pada Senin (27/10/2025), menjadi pemberhentian kedua dari tur lima harinya di Asia. Ini merupakan perjalanan luar negeri terpanjang Trump sejak menjabat pada Januari lalu.

Perhentian pertamanya adalah KTT ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam forum itu, Trump menjadi saksi penandatanganan perjanjian damai antara Thailand dan Kamboja, yang disebut Kuala Lumpur Peace Accords.

Kesepakatan tersebut dibangun dari gencatan senjata yang tercapai setelah Trump turun tangan pada Juli, ketika sengketa perbatasan yang telah berlangsung puluhan tahun antara kedua negara kembali memanas dan menimbulkan bentrokan selama lima hari.

Setelah kesepakatan itu diteken, Trump memuji keberanian Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul dan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet, serta menyebut bahwa gencatan senjata yang ia bantu mediasi telah menyelamatkan jutaan nyawa.

"Hari ini adalah momen bersejarah bagi seluruh rakyat Asia Tenggara, ketika kita menandatangani perjanjian bersejarah untuk mengakhiri konflik militer antara Kamboja dan Thailand," ujar Trump.

Kedua negara menyatakan komitmen mereka terhadap perdamaian dan keamanan, serta sepakat melaksanakan upaya pembersihan ranjau di sepanjang perbatasan, menarik senjata berat, dan membuka akses bagi tim pemantau gencatan senjata yang dikoordinasikan ASEAN.

Thailand juga sepakat untuk membebaskan 18 tentara Kamboja yang telah ditahan sejak Juli.

Selain perjanjian damai, Trump menandatangani kesepakatan dagang timbal balik dengan Malaysia dan Kamboja.

Sementara Vietnam berkomitmen untuk meningkatkan pembelian produk asal AS guna mengurangi surplus perdagangan sebesar 123 miliar dollar AS (setara Rp 2.041 triliun) pada 2024.

Trump meninggalkan Malaysia pada Senin (27/10/2025) siang menuju Jepang. Perdana Menteri Jepang yang baru, Sanae Takaichi, yang baru seminggu menjabat berharap dapat membangun hubungan pribadi yang baik dengan Trump untuk meredakan ketegangan dagang.

Dalam penerbangan menuju Tokyo dengan pesawat Air Force One, Trump mengatakan bahwa pertemuannya di Jepang akan menyoroti persahabatan besar antara AS dan Jepang.

Namun, langkah Trump menuai banyak kritik. Phil Robertson, Direktur Asia Human Rights and Labor Advocates, menilai aksi Trump sarat motif pribadi.

"Trump jelas berambisi mengejar Hadiah Nobel Perdamaian. Peranannya dalam kesepakatan Thailand dan Kamboja lebih menunjukkan obsesi akan pencitraan diri ketimbang komitmen jangka panjang terhadap perdamaian,” kata Robertson kepada DW.

Ia menambahkan bahwa ancaman Trump untuk menaikkan tarif ekspor kedua negara hingga 49 persen membuat mereka tidak punya pilihan selain menandatangani kesepakatan damai. "Kedua negara sangat bergantung pada pasar Amerika Serikat,” ujarnya.

Menurut analis politik asal Singapura, Ian Chong, pengaruh Trump di Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari tekanan ekonomi.

"Tarif dan perdagangan adalah senjata utama AS dalam memaksa kesepakatan. Negara-negara Asia Tenggara merupakan simpul penting dalam rantai pasok global, termasuk untuk bahan mentah seperti nikel yang dikirim ke China dan akhirnya dijual ke pasar AS," jelasnya.

Chong menilai kebijakan proteksionis Trump menambah tekanan bagi ekonomi kawasan yang selama ini bergantung pada ekspor.

"Ketika AS memberlakukan pembatasan, negara-negara ini harus mencari pasar alternatif, dan itu tidak mudah," ujarnya.

Berdasarkan data Kantor Perwakilan Perdagangan AS, total perdagangan antara Washington dan negara-negara ASEAN mencapai sekitar 475 miliar dollar AS (setara Rp7.888 triliun) pada 2024, menjadikannya hubungan ekonomi yang vital bagi kedua pihak.

Trump dan upaya membangun loyalitas kawasan

Kunjungan Trump ke Malaysia juga menjadi kesempatan bagi Perdana Menteri Anwar Ibrahim untuk bertemu langsung dengan presiden AS tersebut, menyusul pengumuman kerja sama dagang timbal balik antara Kuala Lumpur dan Washington.

Menurut analis politik asal Singapura, Ian Chong, para pemimpin di Asia Tenggara berusaha menjaga hubungan baik dengan Trump agar tetap mendapat akses pasar Amerika tanpa harus tunduk pada tekanan ekonomi China.

"Secara historis, AS membantu menjaga stabilitas dan kebebasan jalur laut dan udara yang penting bagi perdagangan," ujarnya kepada DW.

Chong menilai, jika AS mengurangi komitmennya di kawasan, kekosongan itu bisa dimanfaatkan Beijing untuk memaksakan kepentingannya.

Karena itu, banyak pemimpin Asia Tenggara memilih tetap menjalin komunikasi langsung dengan Trump agar tidak kehilangan posisi strategis di mata Washington.

Namun, tidak semua pihak melihat pendekatan Trump sebagai strategi yang mendalam. Thitinan Pongsudhirak, profesor politik dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok, menilai Trump lebih fokus pada kemenangan cepat dan kesepakatan besar dengan China.

"Bagi Trump, KTT ASEAN hanyalah acara sampingan. Sementara negara-negara Asia Tenggara ingin hasil jangka panjang yang saling menguntungkan," katanya.

Thitinan menambahkan bahwa perhatian utama Trump justru tertuju pada Jepang, Korea Selatan, dan terutama pertemuannya dengan Presiden China Xi Jinping.

"Berbeda dengan masa jabatan pertamanya, kini Cina siap membalas setiap langkah Amerika. Ini sudah masuk tahap permainan kekuatan ekonomi global," ujarnya.

Trump sendiri mengatakan optimistis akan mencapai kesepakatan dengan Xi, bahkan membuka kemungkinan memperpanjang perjalanannya untuk bertemu pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.

"Saya sangat menghormati Presiden Xi, dan saya yakin kami akan mencapai kesepakatan,” kata Trump di pesawat Air Force One.

Artikel ini pernah tayang di DW Indonesia dengan judul: Ketika Asia Tenggara Jadi Panggung Ambisi Trump.

https://www.kompas.com/global/read/2025/10/28/223600670/ketika-asia-tenggara-jadi-panggung-ambisi-trump

Terkini Lainnya

Masih Bisa Jadi Raja, Pangeran Andrew Tetap Warisi Takhta Inggris meski Gelar Dicopot
Masih Bisa Jadi Raja, Pangeran Andrew Tetap Warisi Takhta Inggris meski Gelar Dicopot
Global
Turkiye Jajaki Dukungan Negara Muslim untuk Tentukan Masa Depan Gaza
Turkiye Jajaki Dukungan Negara Muslim untuk Tentukan Masa Depan Gaza
Global
Kenapa Afghanistan Rawan Gempa Bumi? Ini Penjelasannya
Kenapa Afghanistan Rawan Gempa Bumi? Ini Penjelasannya
Global
Sudah Jatuh Tertimpa Tangga, Pangkat Militer Pangeran Andrew Juga Dicopot
Sudah Jatuh Tertimpa Tangga, Pangkat Militer Pangeran Andrew Juga Dicopot
Global
Gencatan Senjata Dilanggar, Warga Palestina Tewas dan Hamas Serahkan 3 Jenazah
Gencatan Senjata Dilanggar, Warga Palestina Tewas dan Hamas Serahkan 3 Jenazah
Global
Tuduh Rusia dan China Diam-diam Uji Coba Nuklir, Trump Pengin AS Ikutan
Tuduh Rusia dan China Diam-diam Uji Coba Nuklir, Trump Pengin AS Ikutan
Global
Ketika Andrew Bukan Lagi Pangeran, Sirna Sudah Semua Kemewahan...
Ketika Andrew Bukan Lagi Pangeran, Sirna Sudah Semua Kemewahan...
Global
36.000 Warga Sudan Mengungsi Jalan Kaki 70 Km, El Fasher Diteror Kekejaman RSF
36.000 Warga Sudan Mengungsi Jalan Kaki 70 Km, El Fasher Diteror Kekejaman RSF
Global
Sebelumnya Mustahil, Padi Bisa Tumbuh di Inggris karena Perubahan Iklim
Sebelumnya Mustahil, Padi Bisa Tumbuh di Inggris karena Perubahan Iklim
Global
Perampok Museum Louvre Ternyata Penjahat Kelas Teri, Ada Sepasang Kekasih
Perampok Museum Louvre Ternyata Penjahat Kelas Teri, Ada Sepasang Kekasih
Global
Gempa Afghanistan Tewaskan 4 Orang, Puluhan Lainnya Terluka
Gempa Afghanistan Tewaskan 4 Orang, Puluhan Lainnya Terluka
Global
Australia-Turkiye Rebutan Tuan Rumah COP31, Albanese Sampai Surati Erdogan
Australia-Turkiye Rebutan Tuan Rumah COP31, Albanese Sampai Surati Erdogan
Global
Trump Tegaskan Belum Akan Kirim Rudal Tomahawk ke Ukraina, Ini Alasannya
Trump Tegaskan Belum Akan Kirim Rudal Tomahawk ke Ukraina, Ini Alasannya
Global
Ibu Negara Perancis Stres Sering Di-bully Mirip Pria, Hidupnya Tertekan
Ibu Negara Perancis Stres Sering Di-bully Mirip Pria, Hidupnya Tertekan
Global
Apa yang Terjadi di El-Fasher Sudan, Mengapa Ada Pembantaian di Negara Kaya Emas?
Apa yang Terjadi di El-Fasher Sudan, Mengapa Ada Pembantaian di Negara Kaya Emas?
Global
Bagikan artikel ini melalui
Oke