Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Perlukah Khawatir PPN 12 Persen?

Kompas.com - 26/11/2024, 05:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RENCANA kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen kembali menuai sorotan, meski sebenarnya telah lama ada dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang ditetapkan pada 2021.

Beleid tersebut menetapkan kenaikan tarif PPN secara bertahap dari tarif semula sebesar 10 persen. Kenaikan pertama terjadi pada April 2022, sementara kenaikan kedua akan berlaku efektif mulai Januari 2025 mendatang.

Berbagai kalangan ramai menyikapi hal tersebut. Muncul desakan agar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menunda kebijakan yang diwariskan dari era kepresidenan Joko Widodo tersebut (Kompas.com, 16/11/2024).

Namun, ada sejumlah alasan mengapa kenaikan PPN menjadi 12 persen sebenarnya tidak harus menimbulkan kekhawatiran.

Pertama, tidak semua barang dan jasa dikenakan PPN. Barang dan jasa yang banyak dibutuhkan masyarakat biasanya mendapat fasilitas tidak dipungut, dibebaskan, atau dikecualikan dari PPN.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 49/2022 telah mengatur daftar barang dan jasa esensial yang bebas dari PPN. Salah satunya adalah barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, garam, daging, telur, susu, gula pasir, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

Berbagai layanan jasa yang sifatnya penting seperti kesehatan/medis, keuangan, pendidikan, dan angkatan umum juga dibebaskan PPN.

Ada juga barang dan jasa yang tidak kena PPN karena telah dikenakan pajak oleh pemerintah daerah. Misalnya, makanan dan minuman di rumah makan dan restoran sebenarnya tidak diterapkan PPN karena telah dikenakan pajak restoran oleh pemerintah kabupaten/kota.

Penyewaan kamar dan tempat di hotel, serta hiburan dan kesenian seperti konser dan tontonan film juga pajaknya dikenakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Dengan demikian, kenaikan tarif PPN tidak akan menaikkan tarif pajak pada objek-objek tersebut karena merupakan kewenangan pemerintah daerah.

Kedua, dampak kenaikan PPN terhadap perekonomian dalam jangka panjang juga masih perlu dikaji lebih dalam.

Naiknya tarif PPN memang tidak dapat dipungkiri akan berimbas langsung menaikkan harga komoditas terdampak. Namun, efek dari kenaikan harga tersebut belum tentu bertahan dalam jangka panjang.

Pasalnya, harga komoditas dan kinerja ekonomi lazimnya beradaptasi dengan perubahan yang terjadi sehingga cenderung kembali ke level normal jika dilihat dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Selain itu, pajak hanyalah satu dari sekian banyak faktor yang menentukan roda perekonomian.

Jika memperhatikan data historis, kita bisa melihat bahwa hampir tidak ada perubahan dalam kinerja ekonomi setelah tarif PPN naik menjadi 11 persen pada April 2022 lalu.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau