PADA 20 Januari, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menandatangani sejumlah perintah eksekutif di hari pertama kepresidenannya. Salah satunya menarik, Amerika Serikat mundur dari kesepakatan pajak minimum global.
Pajak minimum global, sebagaimana pernah saya uraikan dalam “Mengapa Perlu Pajak Minimum Global 15 Persen?” (Kompas.com, 6/10/2024), merupakan perjanjian internasional untuk mengenakan tarif pajak paling rendah 15 persen bagi korporasi-korporasi multinasional.
Perjanjian inisiasi Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bersama Negara-Negara G20 pada 2021, disepakati oleh lebih dari 140 negara.
Di bawah pemerintahan Joe Biden, Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang turut menyetujui perjanjian tersebut.
Namun, Presiden Amerika Serikat yang baru dilantik, Donald Trump, kini membatalkan keikutsertaan dalam perjanjian tersebut, bersama sejumlah kebijakan lainnya dari era Biden.
Keputusan ini membawa ketidakpastian dalam progres implementasi pajak minimum global. Terlebih lagi, Indonesia baru saja mengadopsi kebijakan tersebut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024 yang ditetapkan pada 31 Desember 2024 lalu.
Pajak minimum global menjadi kesepakatan yang dinantikan untuk menciptakan keadilan pajak internasional.
Baca juga: Mengapa Ada Opsen Pajak Kendaraan?
Pasalnya, banyak perusahaan multinasional selama ini terus menghindari pajak dengan cara memusatkan keuntungan di negara-negara suaka pajak (tax haven) bertarif pajak rendah.
Misalnya, perusahaan internasional seperti Google dan Amazon dapat mengecilkan pajak dengan mengakui keuntungan dari berbagai negara lain pada kantor cabang yang berada di negara suaka pajak.
Sementara itu, kantor cabang di negara asal keuntungan akan melaporkan keuntungan yang lebih kecil dengan mengakui berbagai biaya internal perusahaan yang berdasarkan celah pada hukum pajak sah untuk dilakukan.
Situasi ini mendorong banyak negara saling berkompetisi menurunkan tarif pajaknya serendah mungkin.
Praktik yang dikenal sebagai “pertarungan ke bawah (race to the bottom)” ini dilakukan untuk menarik minat investasi keuntungan dari korporasi multinasional.
Praktik ini merugikan banyak negara berkembang yang umumnya memungut tarif pajak lebih tinggi karena struktur anggaran yang masih secara utama bersumber dari penerimaan pajak. Indonesia, misalnya, mengenakan tarif pajak perusahaan sebesar 22 persen.
Sementara itu, di suaka pajak seperti Irlandia dan Swiss, tarif pajak perusahaan hampir hanya separuhnya saja, antara 12 hingga 15 persen.
Perbedaan tarif ini mendorong banyak perusahaan multinasional memindahkan keuntungannya dari berbagai negara ke negara suaka pajak. Hal ini merugikan negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi karena akhirnya kehilangan hak penerimaan pajaknya.