DRAMA perang dagang belum usai meski Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, pada 9 April lalu, di luar dugaan mengumumkan penundaan kebijakan tarif resiprokal hingga 90 hari ke depan.
Pasalnya, meski seluruh negara termasuk Indonesia diberikan jeda dengan tarif lebih rendah sebesar 10 persen, China menjadi satu-satunya yang justru dikecualikan dari keringanan tersebut.
Trump bersikeras tetap akan mengenakan tarif sebesar 145 persen atas impor dari China. Padahal, sumber impor terbesar kedua AS berasal dari China dengan proporsi mencapai 13,8 persen dari total impor sepanjang 2024.
Menyikapi hal tersebut, pemerintah China melakukan retaliasi dengan menaikkan tarif impor produk asal AS menjadi 125 persen. Aksi saling balas tarif antara dua adidaya ekonomi tersebut kembali mengguncang pasar keuangan global.
Bursa efek internasional sebelumnya sempat pulih berkat sentimen positif ditundanya tarif Trump. Pada 9 April, bursa Wall Street di AS mencetak reli bersejarah mencapai 12 persen dalam sehari.
Di hari perdagangan berikutnya, bursa efek di Asia mengikuti pergerakan serupa. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia menguat 4,79 persen setelah sebelumnya terus tertekan sejak dibuka usai libur Lebaran.
Baca juga: Rupiah Terpuruk, Perlukah Khawatir?
Bursa efek Hong Kong, Singapura, dan Jepang juga pulih (rebound) dengan penguatan mencapai 9 persen. Sayangnya, reli tersebut tidak bertahan lama.
Pada 10 April, bursa saham AS kembali melemah dengan indeks Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq ditutup turun hingga 4,3 persen.
Pasar tampak tidak merespons data inflasi AS yang dirilis di hari yang sama. Padahal, inflasi AS turun menjadi 2,4 persen (yoy), lebih rendah dari proyeksi 2,6 persen dan inflasi Februari sebesar 2,8 persen.
Meskipun jeda tarif sedikit meringankan risiko terjadinya resesi di AS, perkembangan kebijakan tarif yang belum pasti membuat keyakinan pasar masih belum pulih sepenuhnya.
Bank investasi terbesar kedua di dunia, Goldman Sachs, mengestimasi kemungkinan 65 persen terjadinya resesi AS dalam setahun ke depan. Angkanya kemudian dipangkas menjadi 45 persen menyusul pengumuman jeda tarif Trump.
Namun, risiko resesi tidak selalu berarti resesi akan benar-benar terjadi. Jika melihat data historis, ancaman resesi serupa sebenarnya bukan kali pertama ini terjadi di AS.
Pada 2018, dimulainya perang dagang AS dan China di periode pertama kepresidenan Trump juga sempat menimbulkan proyeksi akan terjadinya resesi. Bursa Wall Street beserta bursa efek di Asia dan Eropa terus melemah sepanjang tahun.
Pemicunya juga karena bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga acuan secara agresif dari 1,5 persen hingga 2,5 persen. Pengetatan moneter tersebut dilakukan merespons naiknya inflasi akibat tarif atas impor dari China.
Pelaku pasar merespons sikap hawkish Fed tersebut secara negatif. Pengetatan moneter di saat perang dagang tengah bergejolak dinilai akan membuat ekonomi AS justru terkontraksi.
Ancaman resesinya semakin tinggi ketika imbal hasil obligasi jangka panjang pemerintah AS turun menjadi lebih rendah dibanding imbal hasil obligasi jangka pendek.
Situasi terbaliknya kurva imbal hasil (inverted yield curve) tersebut diyakini menjadi salah satu tanda akan terjadinya resesi dan akhirnya memicu ketakutan pasar.
Pasalnya, pada situasi ekonomi yang normal, obligasi jangka panjang seharusnya menawarkan imbal hasil lebih tinggi karena investor harus menyimpan dananya lebih lama.
Baca juga: Trump Hidupkan Neoimperialisme
Ketika imbal hasilnya justru turun, artinya investor lebih memiknati obligasi jangka panjang sebagai aset lindung nilai (safe-haven) untuk mencari perlindungan dari situasi ekonomi yang dinilai akan tidak baik ke depan.
Meski demikian, ancaman resesi tersebut akhirnya tidak menjadi kenyataan. Pada 2019, Fed dengan cepat menjadi dovish dan kembali menurunkan suku bunga acuan menjadi 1,75 persen.
Selain itu, perang dagang juga mereda ketika AS dan China mencapai Kesepakatan Fase Pertama (Phase One Deal) pada Januari 2020. Perjanjiannya, AS sepakat memangkas tarif impor atas produk China, sementara China sebaliknya akan mengimpor lebih banyak dari AS.