JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyoroti layanan keuangan Indonesia yang dinilai menghambat perdagangan luar negeri AS, yaitu Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
Hal tersebut membuat AS tidak mendapatkan keuntungan dari transaksi pembayaran yang dilakukan di dalam negeri melalui perusahaan sistem pembayaran.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Direktur Utama Rintis Sejahtera Suryono Hidayat mengatakan, menurut dia, hal tersebut adalah bagian dari dinamika persaingan bisnis.
"Persaingan bisnis itu lama-lama dengan QR kan tidak perlu lagi kartu kredit, semua (transaksi) debit, jadi itu yang merasa 'dimakan'," kata dia ketika ditemui di Jakarta, Rabu (30/4/2025).
Baca juga: Ekonom Minta Pemerintah Pertahankan QRIS dan GPN Meski Diprotes AS
Pasalnya, AS merasa tidak memiliki nilai (value) apa-apa ketika semua transaksi di dalam negeri menggunakan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan QRIS.
Suryono mengungkapkan, Indonesia perlu untuk menjaga kedaulatan sistem pembayaran dalam negeri melalui GPN dan QRIS.
Ia menilai, sistem pembayaran dalam negeri sudah cukup mumpuni untuk menopang transaksi keuangan. “Untuk transaksi lokal ya pakai itu (GPN dan QRIS). Untuk transaksi domestik, untuk apa kita pakai produk dari luar? Kita bisa dan kita mampu,” tutur Suryono.
Baca juga: Meski Dikritik AS, QRIS akan Rambah China dan Arab Saudi
Ia menceritakan, di negara asing, pembayaran dengan bank yang berbeda memerlukan Electronic Data Capture (EDC) yang berbeda.
Sedangkan di Indonesia, satu EDC bisa melayani beberapa bank.
Hal itu masih ditambah dengan adanya kebijakan Merchant Discount Rate (MDR) sebesar 0 persen yang diterapkan Bank Indonesia (BI).
“Di dunia manapun, tidak ada yang ada proses three party, di mana kartu bank A bisa dipakai di bank B untuk transfer ke bank C. Itu cuma Indonesia. Di luar negeri (kartunya) cuma satu-satu. Kalau di Indonesia kan canggih,” tutupnya.