Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Danantara Sebaiknya Tak Berinvestasi Bitcoin

Kompas.com - 14/05/2025, 05:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BADAN Pengelola Investasi (BPI) Danantara baru-baru ini mendapat usulan berinvestasi pada aset kripto Bitcoin. Usulannya datang dari pelaku bisnis perdagangan aset digital di Tanah Air.

Gagasan inovatif ini menyerupai keputusan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang pada 6 Maret lalu, menginstruksikan pembentukan cadangan strategis Bitcoin dan aset kripto di AS.

Investasi langsung pemerintah pada Bitcoin dan aset kripto seperti ini menjadi kebijakan fiskal yang terbilang baru.

Berbagai pemerintahan seperti AS, China, dan Britania Raya memang memiliki aset Bitcoin senilai triliunan rupiah. Namun, semuanya merupakan hasil penyitaan terkait kasus pelanggaran hukum.

Investasi langsung hingga pembentukan cadangan strategis kripto oleh pemerintah belum pernah terjadi sebelumnya.

Keputusan AS menjadi negara pertama yang membentuk cadangan Bitcoin seakan melegitimasi aset kripto yang selama ini cenderung melekat dengan kesan negatif karena minim regulasi dan sering digunakan dalam aktivitas melanggar hukum.

Kabar pembentukan cadangan Bitcoin tersebut menjadi sentimen positif yang meningkatkan euforia dan publisitas yang saat ini kembali melanda pasar aset kripto.

Baca juga: SWF, Danantara, dan Kapitalisme Negara

Sejak terpilihnya kembali Trump sebagai Presiden AS pada November 2024 lalu, harga Bitcoin berhasil mencetak level tertinggi baru (all-time high) menembus 100.000 dolar AS per Bitcoin atau sekitar Rp 1,6 miliar.

Saat itu, pasar menilai Trump sebagai kandidat yang lebih ramah bagi iklim investasi dan bisnis dibanding lawan politiknya, Kamala Harris, yang sebelumnya menjabat wakil presiden di era pemerintahan Joe Biden yang dianggap kurang mendukung perkembangan pasar kripto di AS.

Selain faktor politik, reli harganya juga didorong oleh halving Bitcoin pada April 2024; momen setiap 4 tahun sekali di mana imbalan hasil menambang (mining) Bitcoin dipangkas separuh dari nilai sebelumnya.

Secara historis, momen halving memang cenderung menciptakan tren positif pada harga Bitcoin. Pemotongan imbalan diyakini akan menurunkan pasokan Bitcoin baru di pasar. Kelangkaannya pun meningkat dan membuat harga Bitcoin semakin tinggi.

Sepanjang 2020, misalnya, halving pada bulan Mei, membuat nilai tukar Bitcoin terhadap dollar AS naik hingga 4 kali lipat dalam setahun.

Reli positif harganya kemudian disusul oleh aset kripto lain seperti Ethereum yang harganya naik mencapai puluhan kali lipat sepanjang 2021.

Namun, halving bukan faktor satu-satunya. Saat itu, bank sentral AS juga menerapkan suku bunga nol untuk menstimulasi ekonomi saat pandemi Covid-19.

Biaya pinjaman yang rendah akhirnya menaikkan aliran modal investasi pada instrumen berisiko, seperti aset kripto dan saham.

Tren kenaikan harga kripto saat itu juga didukung publisitas berlebihan pada konsep keuangan terdesentralisasi (decentralized finance/DeFi) dan non-fungible token (NFT) yang menjadi bagian dari teknologi aset kripto.

Kemudian, timbul partisipasi impulsif investor ritel karena takut tertinggal arusnya (fear of missing out/FOMO).

Banyak dari investor ritel tersebut kemudian mengalami kerugian ketika harga Bitcoin dan aset kripto lainnya anjlok sepanjang 2022, akibat bank sentral AS kembali mengetatkan kebijakan moneter dan menaikkan suku bunga.

Anjloknya semakin diperparah dengan skandal keuangan yang terjadi di pasar kripto. Kolapsnya harga aset kripto Luna dan kepailitan bursa kripto FTX di AS pada 2022, membuat kapitalisasi pasar kripto turun hingga 75 persen. Selain itu, sekitar 95 persen aset digital NFT akhirnya tidak bernilai sama sekali.

Baca juga: Salah Kaprah Pajak BBM

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau