KOMPAS.com - Hotel Sultan Jakarta merupakan salah satu ikon perhotelan berbintang lima di ibu kota yang menyimpan sejarah panjang dan polemik terkait status kepemilikan lahannya.
Hotel Sultan pertama kali dibuka pada tahun 1976 dengan nama Hilton International Jakarta, sebuah perusahaan jaringan hotel multinasional, Hilton Worldwide.
Lokasinya berada di atas lahan strategis milik negara yang dikelola oleh Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK).
Pada masa itu, hotel ini menjadi simbol modernisasi Jakarta menjelang pelaksanaan Asian Games 1978.
Letaknya yang hanya beberapa menit dari pusat perkantoran Sudirman, kompleks olahraga GBK, dan pusat perbelanjaan membuat hotel ini tetap menjadi pilihan strategis bagi wisatawan dan pelaku bisnis.
Baca juga: Siapa Pemilik Hotel Horison?
Lalu jadi pertannyaan, siapa pemilik Hotel Sultan Jakarta yang berdiri megah di kawasan GBK ini?
Pada 2006, setelah kerja sama dengan Hilton berakhir, hotel ini berganti nama menjadi Hotel Sultan Jakarta dan dikelola oleh pihak swasta melalui perusahaan PT Indobuildco.
Meski dikenal sebagai hotel mewah, kepemilikan lahan Hotel Sultan kerap menjadi kontroversi sampai hari ini. Lahan tempat berdirinya hotel ini merupakan aset negara yang dikelola oleh PPKGBK di bawah Kementerian Sekretariat Negara, namun status Hak guna bangunan (HGB) selama puluhan tahun dipegang oleh Indobuildco.
Merangkum pemberitaan KOMPAS.com, hak pengelolaan lahan sempat diberikan kepada PT Indobuildco. HGB pertama PT Indobuildco diterbitkan pada 1983 dengan masa berlaku selama 30 tahun dan sempat diperpanjang hingga 2023.
Namun, pada tahun-tahun terakhir, muncul sengketa antara pemerintah dan PT Indobuildco terkait status perpanjangan lahan.
Pada 2023, Mahkamah Agung menguatkan putusan bahwa lahan Hotel Sultan adalah milik negara dan harus dikembalikan kepada PPKGBK.
Baca juga: Sosok Konglomerat Pemilik Hotel Ayana, MidPlaza, dan Biznet
Untuk diketahui saja, Keluarga Ibnu Sutowo kerap dikaitkan sebagai pemilik Hotel Sultan Senayan. Ia merupakan tokoh militer yang sempat menduduki posisi Direktur Utama Pertamina pada era Soeharto. Namanya juga menjadi Dirut Pertama terlama.
Sebelum menjadi kawasan elit, Senayan termasuk di dalamnya GBK, dulunya hanya berupa perkampungan dan perkebunan milik warga asli Betawi.
Tanah ini kemudian dibebaskan pemerintah di era Presiden Soekarno untuk membangun berbagai fasilitas olahraga guna menyelenggarakan pesta olahraga Asia atau Asian Games IV tahun 1962.
Saat itu, tanah pun dibebaskan Yayasan Gelora Senayan yang diketuai Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dana negara digunakan untuk membebaskan tanah rakyat di kawasan Senayan itu. Sayangnya, tanah yang dibebaskan tidak segera dibuat sertifikat.