KOMPAS.com - Pacu Jalur adalah pesta rakyat yang menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau.
Tradisi ini bukan sekadar perlombaan perahu biasa, tetapi merupakan warisan budaya yang telah ada sejak abad ke-17 dan terus dilestarikan hingga kini.
Jejak sejarahnya menyimpan kisah panjang tentang kehidupan masyarakat pesisir Sungai Kuantan.
Baca juga: Jadwal Festival Pacu Jalur 2025, Acara Puncak Tanggal Berapa?
Pada abad ke-17, sebelum transportasi darat berkembang, masyarakat di sepanjang aliran Sungai Kuantan, mulai dari Kecamatan Hulu Kuantan hingga Kecamatan Cerenti, mengandalkan jalur sebagai alat transportasi utama.
Jalur pada konteks ini bukan berarti "jalan", melainkan perahu besar yang terbuat dari kayu bulat tanpa sambungan, digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti pisang dan tebu, bahkan dapat menampung 40 hingga 60 orang.
Lihat postingan ini di Instagram
Seiring waktu, jalur mulai diberi sentuhan artistik. Muncul ukiran indah berbentuk kepala ular, buaya, atau harimau di bagian lambung dan selembayung jalur.
Ditambah dengan pernak-pernik seperti payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang), dan lambai-lambai (tempat berdiri juru mudi), jalur menjadi lebih dari sekadar alat angkut, melainkan sebagai simbol status sosial.
Baca juga: Cara Nonton Langsung Pacu Jalur 2025 dari Jakarta ke Riau, di Mana Lokasinya?
Kala itu, hanya kalangan bangsawan, datuk, dan penguasa wilayah yang memiliki hak untuk menggunakan jalur berhias ini.
Sekitar satu abad kemudian, masyarakat mulai melihat sisi lain dari jalur, yakni kecepatan dan ketangkasan mendayungnya.
Dari sinilah lahir tradisi Pacu Jalur, yakni lomba adu cepat antar jalur yang berlangsung di sungai.
Awalnya, pacu jalur diadakan untuk memeriahkan peringatan hari-hari besar Islam dan dilaksanakan antarkampung.
Baca juga: Ada Dukun di Balik Tradisi Pacu Jalur Riau, Dipercaya Bawa Kemenangan
Namun seiring perjalanan sejarah, terutama sejak kemerdekaan, tradisi ini berubah menjadi agenda tahunan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, Pacu Jalur rutin digelar setiap bulan Agustus.
Pada masa penjajahan Belanda, Pacu Jalur tetap dilestarikan, meskipun disesuaikan dengan kepentingan kolonial.
Perlombaan diadakan untuk merayakan hari kelahiran Ratu Belanda, Wilhelmina, pada 31 Agustus.
Acara tersebut biasanya berlangsung selama 2 hingga 3 hari, tergantung banyaknya peserta, dan tetap menjadi hiburan serta ajang silaturahmi masyarakat.