JAKARTA, KOMPAS.com — Gelombang kritik terhadap sistem pengelolaan royalti lagu dan musik di Indonesia semakin meluas.
Setelah 29 penyanyi yang tergabung dalam asosiasi musisi Vibrasi Suara Indonesia (VISI) mengajukan uji materi Undang-Undang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK), kini giliran Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI) yang melayangkan hal serupa.
Baca juga: Kritik 29 Penyanyi yang Uji Materi UU Hak Cipta ke MK, Piyu Padi: Enggak Habis Pikir, Sumpah
Seperti dilansir situs resmi MK, Rabu (30/4/2025), Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI) ajukan gugatan yang terdaftar dengan nomor perkara 30/PUU-XXIII/2025 dan disidangkan perdana pada Kamis, 24 April 2025.
APMI menyoal Pasal 89 ayat (1) hingga (4) dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang dinilai membuka celah pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tanpa dasar hukum jelas, serta memicu dualisme kewenangan dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang telah lebih dulu menjalankan fungsi pengelolaan royalti.
Baca juga: Polemik UU Hak Cipta, Pasha Ungu: Langkah Ariel Sangat Konstitusional
APMI mewakili berbagai profesi di dunia musik, mulai dari pencipta lagu, penyanyi, hingga penulis buku dan penggiat musik.
Enam nama yang menjadi pemohon dalam perkara ini adalah M. Ali Akbar, Ento Setio Wibowarno, Pamungkas Narashima Murti, Sugiyatno, Muhammad Gusni Putra, dan Anton Setyo Nugroho, yang juga merupakan inisiator pembentukan APMI.
Baca juga: Tersinggung Postingan Piyu soal Royalti, Fadly Padi: Saya Punya Harga Diri, Brother
Dalam persidangan, Anton Setyo Nugroho menilai Pasal 89 UU Hak Cipta telah gagal memberikan kepastian hukum terkait pengelolaan royalti.
Ketidakjelasan aturan memungkinkan munculnya entitas baru seperti LMKN, yang disebut justru menimbulkan ketidakadilan dan berpotensi merugikan para pencipta lagu.
Baca juga: Tanggapi Postingan Piyu soal Royalti, Fadly Padi: Kapan Kita Bicara Langsung?
“Norma tersebut hanya mengatur kewenangan satu entitas yang bernama Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan tidak menyebutkan entitas lainnya. Oleh sebab itu, pembentukan LMKN merupakan ultra vires melampaui kewenangan yang diberikan oleh undang-undang induknya,” jelas Anton dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Panel MK.
Menurut Anton Setyo Nugroho, keberadaan LMKN tidak memiliki landasan hukum dalam definisi resmi UU Hak Cipta.
Sebab, dalam Pasal 1 butir 22, yang dijelaskan hanya soal LMK sebagai badan hukum nirlaba yang mengelola hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait.
Tidak ada penyebutan soal LMKN, apalagi mandat untuk pembentukannya.
Baca juga: Sidang Uji Materi UU Hak Cipta, Hakim MK Isra Saldi Nasihati Ariel NOAH dan Kawan-kawan
“Norma yang ada justru menimbulkan dualisme fungsi antara LMK dan LMKN. Akibatnya, banyak pencipta lagu kebingungan dan menghadapi keterlambatan dalam menerima hak ekonominya,” ujar Anton di ruang sidang panel MK.
APMI juga menilai bahwa keberadaan LMKN dapat mengarah pada pelanggaran terhadap hak milik individu sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, serta prinsip kepastian hukum dan keadilan pada Pasal 28D ayat (1).
Baca juga: Ahmad Dhani Kirim Surat ke VISI soal Debat Terbuka UU Hak Cipta
Mereka menuding mekanisme pengelolaan royalti saat ini — yang tersentralisasi melalui LMKN — telah menutup partisipasi pencipta lagu dalam menentukan pembagian dan tarif royalti.